Pengikut

Minggu, 05 Desember 2010

Gugurnya Mbah Tercinta

Terkejut aku setelah membaca SMS yang masuk di Hand phond-ku. Seluruh tubuh bergetar dan dadaku seolah menekan hingga hati ikut merasakan getaranya. Air mata hendak turun namun ku coba untuk menahan. Serasa menyesal benak ini karena tega meninggalkannya di saat detik-detik terakhirnya untuk pergi ke suatu tempat yang mungkin lebih berarti menurutku. Sebelum pergi ibuku memanggilku dengan nada yang begitu cemas. “Holi, cepat kesini !” perintah ibu di saat nyawa si Mbah naik turun. “Jangan kemana-mana, dan terus bacakan surat yasin.” Perintahnya. Tapi ku berontak. Biasa, penyakit sombong menjajahku lagi. Tapi, tidak ku lafadz-kan kekesalanku. Semua kekesalanku terpendam dalam hati. Meskipun begitu, yang namanya laki-laki susah untuk menyimpan prasaan. Jadi ku luapkan pada pamanku yang saat itu berada di depanku. “Mama pikir, surat yasin itu di gunakan untuk mengusir malaikat. Mama pikir, setelah di bacakan yasin, Mbah-ku akan sehat kembali dan langsung dengan kontan akan berdiri lalu berlari.” curhatku sambil mengumpat-umpat.
 Dan apa yang tidak diinginkan pun terjadi. Marisem;Mbahku ini akhirnya pergi tanpa ada diriku di sisinya. Hatiku berkata, “Ya allah, akhirnya dikau mengambilnya kembali. Kembali kepangkuanmu. Di tempat yang kekal di dalamnya. Walau berat tapi mustahil dia akan kembali lagi kecuali ada kehendak ilahi.” Itulah jawabku dalam hati ketika membaca SMS yang masuk berusan. SMS itu menyapaku dengan hanya beberapa kata saja, “Bang, Mbah sudah meninggal.” SMS adikku. Sempat tercengang akibat efek terkejut yang mendalam. Namun, jari tetap bergerak dengan perasaan yang mencoba untuk tenang untuk membalas SMS. Dan tiada kata yang pantas ku ucapkan selain kata innalillahi.
Waktu terus bergulir seperti biasa dan muhal untuk di halau lajunya. Ku percepat keperluanku dan pamanku dengan gelisah. “man, Mbah udah wafat.” Beritaku pada pamanku. Sontak, pamanku terkejut. “Innalillahi wa innalillahi roji`un …!” jawabnya. Ku coba mengajaknya untuk segera meningalkan tempat yang sekarang didiami sekarang. Dan kuajak ia untuk kerumahku sebebntar untuk mengambil sebuah buku. Ya, buku. Buku ini kupikir sangat penting sekali. Sebab, berkaitan dengan syari`ah. Ku ingin membawa buku ini agar nanti dapat bermanfaat untuk keluarga yang terkena musibah. Buku ini adalah buku panduan untuk ummat manusia. Di dalamnya berisi ajaran-ajaran mujtahid fiqih salafiyah yang mengkaji ilmu masyarakat. maksudnya, kajian di dalamnya ini menjelaskan bagaimana Islam mengatur kehidupan bermasyarakat dan bersosial. Dan juga menjelaskan tata cara dan berbagai hal tentang hal yang berhubungan dengan masyarakat. Seperti mengurus manusia yang tidak bernyawa lagi. Itu salah satunya.
Perjalanan kami sempat tertahan dan kami mengalami sedikit kesulitan dalam menumpuh tujuan. Terlihat dari jauh, beragam pemuda yang diantaranya bersama dengan gandengannya menuju tempat. Ku dengar tempat itu akan hadir sebuah band gambus al-madinah yang saat itu banyak sekali peminatnya. Ku coba untuk meliwati jalan lain agar cepat tiba di tujuan dengan cepat. Sayangnya, kami tidak dapat menghindar dari keramaian yang menimbulkan kemacetan panjang. Entah berapa motor markir di tepi jalan yang tidak sepatutnya di gunakan untuk lahan parker. Tapi ku maklumi, itu akibat mereka yang telah ditipu daya dunia fana ini.
Sebenarnya, disamping agar ku datang dengan cepat, ku ingin menghindari melihat kemungkaran yang menjadi budaya yang tak sepantasnya ditonton. Setiap mata memandang peristiwa itu, hati menangis dan kesal. Untuk menghibur hatiku, makanya kuberfikir bahwa ini memang sudah takdir. Memang hanya itulah yang dapatku lakukan. Hanya bisa berontak dalam hati semata.
Akhirnya kami tiba, ku melihat ramai orang di depan rumah Mbah-ku. Tapi, aneh! Tak seorangpun diantara wajah mereka yang tampak sedih. Mereka biasa-biasa saja tanpa merasa kehilangan. Dan malah ada yang ketawa-ketiwi. Seolah-olah tempat itu warung kopi. Ironis sekali. Tapi dari pada tidak sama sekali kan ramai pengunjung itu lebih baik. Tenaga mereka berguna tapi tidak sekarang.
Di dalam rumah terdengar gemuruh suara tangisan yang menjadi-jadi. Suara tangisan yang diiringi dengan kesibukan perorangan – mondar-madir melewati si mayat— tidak dapat terhindari lagi. Aku mendekati sambil merintih dalam hati. Di samping pintu terdapat seorang wanita. Wanita ini adalah anaknya yang sedang memperhatikan mayat ibunya yang telah ditutupi sehelai kain panjang. Ia memandang sambil mengalirkan air mata saraya berkata, “Engkau sungguh meninggalkanku untuk selamanya ibu.” ujarnya sambil tersendak-sendak seolah tak percaya akan musibah yang menimpanya.
“Ya allah, limpahkan rahmadmu pada nenekku itu. Mudah-mudahan engkau memberikannya tempat yang lapang padanya.” Do`aku dalam hati. Cucu-cucu beliau teus menerus membaca surat yasin sambil menangis haru. Mungkin mereka berharap bahwa tubuh yang tidak bernyawa itu akan kembali sehat dan menyapa mereka sambil tersenyum. Tapi itu hanya keinginan anak-anak yang tidak rasional. Dan memang maklum adanya. Wallahu`allam
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar