Setitik dari Hidup
Oleh : Holi Hamidin
Sore saat itu dingin. Apalagi dicampur rintik-rintik hujan dan angin. Sebenarnya, jika saat itu Aku boleh memilih, tentu Aku memilih untuk menghindar dari hembusan angin. Agar tidak masuk angin. Tapi, di setiap jalan yang Kulewati, tak sedikit pun terbesit di penglihatanKu sebuah pohon beringin. Aku tabrak saja angin walau terasa sangat dingin.
Hari itu Aku mencari sebuah rumah. Rumah seorang dosen dan hendak mengantarkan tugas kuliah. Aku tidak tahu alamatnya dan itu yang membuatKu susah. Kusapa orang di sebelah, yang kebetulan satu arah. Kubuka sedikit senyum supaya dianggap ramah. Dan ia menjawab dengan kata-kata yang bertuah. Aku berterima kasih dengan bahasa daerah. Dan Al-Hamdulillah. Setelah beberapa kali melewati dari berbagai arah, akhirnya teka-teki itu menyerah. Dan bibirKu pun merekah. Walau sudah tidak lagi merah. Sebelumnya, benak ini hendak menyerah dan pasrah. Tapi akhirnya semua itu telah punah. Dan aku seolah-olah menjadi orang yang berbunga-bunga dan bergairah. Semua itu terjadi setelah aku menghadap pada Allah.
Karena hari hampir gelap. Dan matahari sudah lelap. Maka pikiran yang kalap, bermaksud berziarah ke sebuah rumah yang beratap. Walau tidak membawa atribut lengkap, aku pergi dengan sangat cakap.
Kukirimi pesan orang yang bersangkutan, melalui pesan singkat yang sangat berkesan. Semua itu kulakukan hanya bermaksud untuk mengatakan bahwa aku akan datang. Itu bukan satu-satunya alasan. Sebab di samping itu, ada beberapa alasan yang tidak mungkin diceritakan. Tapi mungkin ketidak-tahuan terhadap tempat tinggal Aslan dapat Ku-utarakan. Agar tidak menimbulkan beberapa persoalan dan penasaran dalam pikiran.
“Jalan Paris dua, ujung sekali.” jawab Aslan dengan pesan singkat yang dikirimnya. Motor yang setia telah lama bersiaga. Dan sudah saatnya menempuh perjalanan yang berikutnya. Mungkin hanya ini jalan satu-satunya. Jadi meskipun macet dimana-mana, niat harus terlaksana. Apalagi Aslan sudah menungguKu di sana. Agar tidak terjadi apa-apa, tidak lupa baca Bismillah lalu kutancap gasnya.
Tidak sulit bagiKu untuk menemukan Aslan dan tempat tinggalnya. Seperti yang Ia katakan dalam pesan singgkatnya, bahwa di tepi jalan Ia berada. Betul juga. Bersakit-sakit dahulu lalu senang diakhirnya. Memang awalnya tidak mudah memberikan makalah pada seorang dosen yang mulia. Tapi, kemudahan Kudapat saat hendak ke tempatnya.
Aslan tersenyum melihatKu tiba di tempat tinggalnya. Dia berada dalam sebuah gerobak yang di dalamnya berisi barang yang hendak dijualnya. Yaitu menjual rokok dan pulsa. Sering dikatakan sebagai konter para pemula. Di dalam Ia tidak sendirian saja. Tempat yang sempit itu dipaksa memuat lebih dari dua raga yang sedang menonton sebuah acara. Film yang ditontonya berjudul ‘Kungfu Panda’.
Di luar gerobak juga terdapat pula seorang teman Aslan. Dan Aku dan temannya itu juga saling berteman. Kenal melalui Aslan. Dia menanyakan beberapa pertanyaan yang tidak Aku tahu terhadap apa jawaban yang akan Kukatakan. Meskipun demikian, itu tidak mengurangi keakraban yang telah lama kami lakukan.
Sebelum Jumeri pulang, ia menemaniKu dan Aslan. Kusarankan agar tidak pulang duluan. Dikarenakan adzan magrib sebentar lagi dikumandankan. Tapi ia mengatakan bahwa ia memiliki kediaman yang jauh dari jalan dan berdekatan dengan pertanian. Tentu tak ada kata yang dapat mencegahnya pulang duluan. Mengurus beberapa peralatan yang dipinjamkan pada Aslan dan teman Aslan. Kemudian Ia ucapkan salam sembari berlalu pulang.
Sebelum azdan magrib berkumandan, Aku berbincang-bincang. Ibarat seorang politikus yang sedang nyantai di tepi jalan. Perbincangan Aku dan Aslan bertopik pada teman kecil Aslan. Yang dari tadi memang berada lalu lalang. Sedikit-sedikit duduk di dekat Aslan; sedikit-dikit berada di tengah jalan seolah ada yang hendak datang. Itulah pemandangan di sela-sela perbincangan antaraKu dan temanKu Aslan.
Aku heran. Tanpa se-pengetahuan teman Aslan yang agak membingungkan, Aku bertanya tentangnya pada Aslan. Aslan menceritakan dengan blak-blakan. Bahkan menurut-Ku, ceritanya didengungkan dengan suara lantang. Hingga itu bukan lagi hal yang harus dirahasiakan.
Aslan bilang dengan optimis bahwa ia adalah anak autis. Aku termenung sejenak di atas tempat duduk dengan beralas betis. Sebebelumnya aku pernah mendengar tentang autis. Yaitu dari seorang wanita yang berperan sebagai dosen psikologis. Dan minggu kemarin juga aku melihatnya dalam serial romantis gratis, yang bertemakan tentang anak-anak autis.
Anak autis bagiKu adalah anak-anak yang cacat. Dengan berat aku menganggap bahwa aku salah anggap. Setelah aslan menceritakannya di tengah-tengah suasana hati yang pekat, aku dapat membedakan antara anak autis dan anak cacat. Dari cerita yang dicerikan oleh teman dekat, aku dapat menyimpulkan bahwa anak autis itu adalah anak yang berangan-angan banyak.
Perbincangan kami semakin seru saat temanKu yang memiliki marga Simbolan menceritakan sedikit cerita yang lucu. Menurutku lucu. Makanya ketawaKu sangat bergemuruh. Mungkin orang-orang yang lewat berprasangka, bahwa gila menimpaku. Tapi untung bagiKu. Sebab, tak seorang yang lewat sambil menggerutu. Tapi itu menurutku.
“Kemaren-kemaren Aku ngajar die ngaji Li, tapi die malah tebengong jak tros.” kata Aslan sambil menunjuk ke arah anak yang bersangkutan. “Itulah, biar die dengarkan yang Kuomongkan, Ku gine’kan.” sambung Aslan sambil menyentil kuping anak autis di sampingnya.
Tapi menurut Aslan, anak ini salah satu dari sekian banyak. Bahkan katanya ada juga yang harus memukul dengan emosi yang meledak-ledak. Dan yang ini kekurangannya hanya suka berkhayal banyak. dan tidak bisa berbicara seperti penjual minyak. dan anak ini juga memiliki kelebihan yang tidak begitu komplek dan banyak. Ia dapat langsung hafal nama orang yang baru Ia kenal.
Perbincangan kami berakhir. Kami menuju mushalla untuk mengambil air. Menyimpan tas dalam kamar yang sempit dan faqir. Lalu berwudu’ di tempat yang banyak disediakan air. Aku diberi kesempatan untuk adzan magrib dalam keadaan berharap akan mendapatkan di surga nanti beribu-ribu selir. Aslan jadi imam. Aku dan masyarakat sekitar bermakmum.
Tibalah saatnya Aku berpamitan meninggalkan surau. Hibatullah adalah julukan surau. Sebelum pulang, Aslan mengajakKu bergurau. Yaitu dengan menunjukkan bukti bahwa ceritanya sore tadi bukan gurau. Aslan mengajakKu ke WC surau. MemaksaKu yang sebelumnya tidak mau. Tapi, penasaran pun akhirnya berbentuk sebuah pulau. Yang mendorongku untuk melihat apa yang hendak ditunjukkan teman gurau.
Setelah melihat, aku tertawa dan merasa geli hati. Anak itu duduk dalam WC sambil melihat lubang kloset WC mini. Aku pun prihatin sendiri. Tapi aku percaya yang Aslan katakan itu bukan mimpi. Yaitu di dunia ini, terdapat seorang manusia, yang berbuat sesuatu yang membuat orang geli. Melihat lobang kloset WC yang berbentuk mini berjam-jam bukanlah hal yang biasa terjadi. Tapi itu bukan mimpi. Sekali lagi, itu benar-benar terjadi.
Aku ucapkan salam dan berterima kasih pada Aslan yang sedang mengunci pintu tempat suci. Dan berterima kasih pula pada Tuhan atas nikmat ini. sehat jasmani dan rohani. Dapat membedakan mana yang palsu dan asli. Kusadari. Betapa besar nikmat ini. mudah-mudahan dapat kugunakan dengan membawa kebahagiaan hati. Kelak di akhir hayat nanti. Amin.
HHHH
Pengikut
Jumat, 15 April 2011
Rabu, 13 April 2011
Hujan Meteor Part I
Oleh : Holi Hamidin
Meteor jatuh di saat semua terlelap dalam tidurnya. Sontak hal ini mengejutkan orang-orang di dunia ini terlebih di Pontianak kotaku. Akan tetapi jatuhnya meteor tidak serentak. Kendati kejadian menyeramkan tersebut menimpa dunia hanya beberapa saat saja, banyak harta benda dan korban nyawa berjatuhan. Baik manusia maupun hewan apalagi tumbuh-tumbuhan. Semua itu hampir hancur dan musnah. Tapi syukurnya hanya sebentar saja. Mungkin ini adalah cobaan buat manusia. Atau malah musibah bagi ummat yang bertindak tidak sesuai hukum Allah hingga Allah mengutus bala tentaranya untuk memperingatkan mereka.
Akhirnya, keadaan mencekam itu; yang membuat ribuan manusia gempar dan putus asa berakhir dan semua menepuk dada masing-masing. Dan komentar keluar dari berbagai macam mulut. Ada diantara meraka yang bersukur sambil menepuk dada; ada juga yang bersyukur sambik sujud. Dan ada juga yang yang nyeleneh; ia berkata, ”syukurlah harta bendaku masih utuh.” katanya sambil tersenyum. Bukannya bersyukur masih diberi kesempatan hidup sekali lagi malah berkata demikian. Mencerminkan dirinya saja. Dan itu juga membuktikan bahwa orang tersebut termasuk orang memikirkan dunia semata. Na`udzubillah...
Setelah itu usai saya terbangun. Dan saat itu pula saya tercengan sambil berfikir, kenapa bisa sampai bermimpi seperti itu. Mimpi itu seolah-olah meng-isyarat-kan sesuatu yang sangat penting dalam hidupku dan ini seolah-oleh Allah menegurku. Ku beranggapan bahwa ini sepertinya mengingatkanku akan adanya hari akhir. Dengan mimpi ini mungkin aku sadar bahwa dunia ini tidak akan kekal. Sebab, tiada yang kekal melainkan allah tuhan semesta alam. Namun, walau aku telah mengetahui itu, amal perbuatan yang aku lakukan setiap harinya tidak menggambarkan seorang yang ber-iman akan adanya hari akhir. Yaitu adanya hari kebangkitan dari kubur, hari perhitungan amal, dan timbangan amal. Yang mana semua hal itu adalah hari peradilan. Di mana manusia akan mendapat ganjaran yang telah diperbuatnya.
Hari-hari aku lewati dengan penuh hati-hati. Aku hendak memulai dan membuka lembaran baru pada saat itu. Aku mencoba mendapatkan bekal untuk akhirat nanti. Mencoba mendapat rahmat dan ridho ilahi. Dengan harapan penuh keyakinan dan optimis akan keberkahan amal hingga bahagia dunia dan akhirat. Tapi nampaknya aku terlalu egois. Sebab, aku tidak mengajak orang lain. Lebih-lebih pada keluargaku sendiri. Dan inilah kesalahan terbesarku, hanya mementingkan diri sendiri. Tapi menurutku, aku bukan lilin yang menerangan ruangan dengan membakar dirinya sendiri. Aku hanya ingin mengaplikasikan semua itu pada diriku dahulu. Barulah kemudian akan aku ajak mereka; orang tua, saudara, teman-temanku dan tetangga-tetangga.
Namun, tak berselang lama kemudian, mimpi itu muncul sekali lagi dalam mimpiku. Mimpi yang kuanggap membawa berkah dan rahmat Allah itu hadir lagi setelah aku sholat tahajjud. Yang mana saat itu dalam keadaan wudu`. Walau hanya dalam mimpi, itu tampak nyata. Tidak ada gambaran sedikitpun dalam benakku saat berada dalam mimpi itu bahwa itu adalah mimpi. Aku mencoba berlari sekuat-kuatnya dan bersembunyi agar selamat.
Hujan batu berselimut api itu menggemparkan penduduk bumi kedua kalinya. Namun, jatuhnya kini sedikit berbeda dengan sebelumnya. Kali ini, hujan yang menurutku adalah sebuah meteor yang sebelumnya terjadi dalam mimpiku itu, menimbulkan suara ledakan yang sangat keras. Tidak hanya itu saja. Bahkan, ledakan tersebut disertai dengan sebuah benda padat dan api disekitar tubuhnya. Terlempar dan jatuh jauh sekali dari letak asalnya jatuh. Bumi serasa ditembaki sebuah kapal yang besarnya hampir sama dengan bumi. Bahkan mungkin lebih besar. Terpantulnya batu api besar tersebut ke rumah-rumah warga membuat dunia ini gaduh. Teriak anak kecil yang berada di gedung yang hmpir runtuh; jeritan tangisan sang ibu dari gubuk tua yang terbakar yang sedang mencari anaknya yang terjepit di dalam dan pak tua yang hanya bisa menggerakkan bibirnya menandakan dinamika besar yang terjadi saat itu. Saat itu siang tapi seperti malam. Sebab, awan hitam menelan siang. Lampu hanya nampak aliran listriknya saja. Petir menyambar-nyambar. Apa yang terjadi ini ya Allah?
Untungnya, aku terbangun dari tidurku. Lalu aku Istigfar tiga kali sambil menghela napas dan kemudian merenung keadaan diriku. Tak pelak, dalam termenungku, aku berpikir sambil ber-angan tentang apa maksud dari mimpi ini. Sampai saat ini masih belum ku temukan apa maksud dari mimpiku ini. Tapi, diluar sana kejadian-kejadian yang hampir serupa dengan mimpiku terjadi. Dan itu terus menerus tanpa berskala. Gunung merapi meletus, anak krakatau mengikuti jejak gunung merapi. Meskipun saat ini sudah tidak lagi tapi sisa-sisanya masih ada. Diantaranya adalah banyak jembatan yang roboh akibat lahar dingin dari merapi. Dan apakah ini berhubungan dengan mimpiku? Wallahu `a_lam_bisyowab.
Setelah lama aku termenung. Aku berdiri dari tempat tidurku dengan wajah pucat dan badan lunglai. Ku tatapkan wajahku pada dinding yang terdapat jam dindingnya. Ku melihat jam masih menunjuk pukul 4 subuh. Selisih 15 menit dari tidurku sebelumnya. Masoh ada waktu untukku bermunajat pada Tuhanku dan mengadukan mimpiku padanya walaupun dia dzat yang maha mengetahui. Aku berwudu` di kali tempat tinggalku. Karena gelap dan lampu di dekat kali tersebut tidak hidup. Aku tidak melihat apa-apa di sekitar kali itu kecuali titian yang dibuat warga untuk tempat cuci pakain.
“Jendarrrr…..” aku terpeleset dan tersungkur dari titian itu.
“Astagfirullah…” teriakanku saat terjatuh. Malam yang sepi nan sunyi membuat teriakanku terdengar keras. Sehingga, tetangga-tetanggaku terbangun. Tidak hanya satu dua orang saja, hampir seluruh penghuni rumah yang berada di sekitar kali tersebut terbangun dan berlari membuka pintu rumahnya untuk melihat apa yang terjadi. Keadaan yang tadinya remang-remang menjadi terang. Lampu yang terdapat pada kali itu hidup. Warga yang terbangun tadi mengitari dan melihatku heran. Saat itu aku mengusap wajahku yang penuh dengan tanah basah sambil menatap wajah mereka satu persatu. Mereka yang terbangung saling melontar pertanyaan heran. “Ada apa ni…?” Tanya mereka ingin tahu apa yang terjadi. Pertanyaan itu terus menerus terdengar dari mulut kemulut hingga pertanyaan warga itu menghiasi pagi menjelang subuh saat itu.
“Hei, siapa kamu ?” tanya seorang warga yang sedang memegang pentungan dengan nada keras. Mungkin ia menganggap Supri yang masih berada dalam parit tempatnya terjatuh itu adalah orang yang hendak mencuri. Dengan agak menggigil supri menjawab, “ini aku pak, Supri.” jawab Supri meyakinkan. Salah seorang pria lainnya menerangi wajahku dengan senter yang dibawanya dari rumah seraya berkata, “Supri…?” ujarnya heran. Mendengar jawaban Supri, warga tambah heran dan kembali saling tanya antara satu dengan yang lainnya. Hingga akhirnya tiba-tiba dari kerumunan muncul wajah yang tidak asing lagi dari otakku. Ia adalah ibuku.
“Supri, itu kamu na` ?” tanya ibuku heran sambil menatap wajahku yang sedikit berlumuran lumpur.
“Iya bu, ini anakmu Supri.” jawab supri melas.
“Apa yang kau lakukan di situ na`?” tanya ibu pada anak yang sedang ditarik keatas oleh seorang warga. Akibat lama berada di dalam air, walau supri sudah tidak berada dalam kubangan air lagi, ia tetap menggigil hingga suara gesekan antara gigi atas dan bawahnya terdengar. Maklum, masih pagi. Suasana masih diliputi banyak embun segar. Dengan keadaan tangan melipat diatas dada yang juga sambil menahan sarungnya yang basah kuyup, agar tidak melorot tentunya, ia menceritakan kejadiannya dari awal.
“Supri nda` tahu mak, kalau di titian itu ada sabun mandi tanpa sehelai-pun bungkusannya. Jadi supri nginjak itu lalu terjatuh deh.” ungkap Supri sambil berdiri gemetaran. Tiba-tiba ada suara dari kerumunan bertanya dengan nada keras, “eh, kami tahu kalau kamu jatuh! Tapi kenapa kamu berada di tempat ini malam-malam, kamu ingin maling kan?” celetup salah seorang warga dengan wajah yang muram durja. “nda`…nda` gitu…” jawab supri ketakutan. Ibunda tercinta yang berada disampingnya berkata, “pak yono. Pak yono jangan bicara sembarangan ya. Mendingan kembali tidur sana, istrinya sudah nunggu tuh!” tegas ibu supri sambil membawa supri pulang. Mendengar ocehan seorang janda paruh baya tersebut, pak yono yang menuduh supri sembarangan itu pergi berlalu dan pulang kerumahnya. Warga yang mendengar itu menyoraki pak yono. Sebab, di depan rumah pak Yono kelihatan istrinya yang hanya memakai sehelai kain yang dililitkan ketubuhnya untuk menutupi tubuhnya. Dan rambutnya tampak acak-acakan. Tentu itu menarikperhatian warga hingga masalah Supri seolah hilang tanpa jejak. “Wuu…..h…” sorak warga yang berada dalam kerumunan pada pak Yono. Dan warga pun berlalu pulang ke rumah mereka masing-masing. Sedasng warga yang masih penasaran masih bertanya-tanya tentang apa yang telah terjadi. Dari kejauhan, bisik-bisik pertanyaan itu terdengar walau tidak terlalu jelas.
Setelah supri mengganti pakaiannya, adzanpun berkumandan. Supri pergi kemasjid Hisbullah yang berada di dekat rumahnya. Ia pergi ke masjid bersama orang-orang yang tadi melihatnya tampak bodoh. Jika ia bertemu dengan salah seorang yang melihat tadi padi itu, Supri-pun merasa malu dan untuk menutupi rasa malunya itu, ia berjalan sambil menundukkan kepalanya. Seperti biasa, dalam masjid yang masih di rehab itu, terdapat orang-orang yang sudah tua. Kemungkinan, rata-rata dari mereka berumur 50-an atau bahkan lebih. Tapi ada juga yang muda. Diantaranya adalah Supri dan Fariz. Supri dan fariz memang rajin ke mesjid. Meraka berdua lebih senang sholat di masjid daripada di rumahnya. Pada waktu subuh, si supri terkadang sholat di masjid kadang juga tidak. Sedangkan Fariz, sholat di masjid adalah suatu yang wajib baginya kecuali siang. Sebab, ia kuliah dan sholat di mesjid kampus.
Setibanya supri di masjid, iqomah langsung diteriakan. Padahal ummat yang berada di rumah Allah itu hanya tidak melebihi satu shaf. Dan itulah pemandangan tiap subuh yang supri lihat di masjid. Tentu ini sangat ironis. Berbeda dengan sholat jum`at. Di mana saat itu, masjid sulit untuk menampung ummat sholat di dalamnya. Akhirnya, mereka yang datang terlambat harus rela sholat di tempat yang biasa digunakan kendaraan lalu-lalang.
Namun, itulah kenyataan dan faktanya. Muslimin mungkin saat itu muslim sedang halangan. Kelelahan menafkahi anak-istrinya. Si ibu sibuk beres-beres; si anak lelah bermain keluyuran. Hingga untuk bangun di waktu subuh ketika itu sulit. Sehingga tidurnya pulas dan menyebabkan panggilan ilahi tidak terdengar. Mudah-mudahan begitu. Jadi, jika nanti urusan dunia mereka selesai, mereka akan kembali ke pangkuan sang-kholik. Amin…
Bersambung…
Oleh : Holi Hamidin
Meteor jatuh di saat semua terlelap dalam tidurnya. Sontak hal ini mengejutkan orang-orang di dunia ini terlebih di Pontianak kotaku. Akan tetapi jatuhnya meteor tidak serentak. Kendati kejadian menyeramkan tersebut menimpa dunia hanya beberapa saat saja, banyak harta benda dan korban nyawa berjatuhan. Baik manusia maupun hewan apalagi tumbuh-tumbuhan. Semua itu hampir hancur dan musnah. Tapi syukurnya hanya sebentar saja. Mungkin ini adalah cobaan buat manusia. Atau malah musibah bagi ummat yang bertindak tidak sesuai hukum Allah hingga Allah mengutus bala tentaranya untuk memperingatkan mereka.
Akhirnya, keadaan mencekam itu; yang membuat ribuan manusia gempar dan putus asa berakhir dan semua menepuk dada masing-masing. Dan komentar keluar dari berbagai macam mulut. Ada diantara meraka yang bersukur sambil menepuk dada; ada juga yang bersyukur sambik sujud. Dan ada juga yang yang nyeleneh; ia berkata, ”syukurlah harta bendaku masih utuh.” katanya sambil tersenyum. Bukannya bersyukur masih diberi kesempatan hidup sekali lagi malah berkata demikian. Mencerminkan dirinya saja. Dan itu juga membuktikan bahwa orang tersebut termasuk orang memikirkan dunia semata. Na`udzubillah...
Setelah itu usai saya terbangun. Dan saat itu pula saya tercengan sambil berfikir, kenapa bisa sampai bermimpi seperti itu. Mimpi itu seolah-olah meng-isyarat-kan sesuatu yang sangat penting dalam hidupku dan ini seolah-oleh Allah menegurku. Ku beranggapan bahwa ini sepertinya mengingatkanku akan adanya hari akhir. Dengan mimpi ini mungkin aku sadar bahwa dunia ini tidak akan kekal. Sebab, tiada yang kekal melainkan allah tuhan semesta alam. Namun, walau aku telah mengetahui itu, amal perbuatan yang aku lakukan setiap harinya tidak menggambarkan seorang yang ber-iman akan adanya hari akhir. Yaitu adanya hari kebangkitan dari kubur, hari perhitungan amal, dan timbangan amal. Yang mana semua hal itu adalah hari peradilan. Di mana manusia akan mendapat ganjaran yang telah diperbuatnya.
Hari-hari aku lewati dengan penuh hati-hati. Aku hendak memulai dan membuka lembaran baru pada saat itu. Aku mencoba mendapatkan bekal untuk akhirat nanti. Mencoba mendapat rahmat dan ridho ilahi. Dengan harapan penuh keyakinan dan optimis akan keberkahan amal hingga bahagia dunia dan akhirat. Tapi nampaknya aku terlalu egois. Sebab, aku tidak mengajak orang lain. Lebih-lebih pada keluargaku sendiri. Dan inilah kesalahan terbesarku, hanya mementingkan diri sendiri. Tapi menurutku, aku bukan lilin yang menerangan ruangan dengan membakar dirinya sendiri. Aku hanya ingin mengaplikasikan semua itu pada diriku dahulu. Barulah kemudian akan aku ajak mereka; orang tua, saudara, teman-temanku dan tetangga-tetangga.
Namun, tak berselang lama kemudian, mimpi itu muncul sekali lagi dalam mimpiku. Mimpi yang kuanggap membawa berkah dan rahmat Allah itu hadir lagi setelah aku sholat tahajjud. Yang mana saat itu dalam keadaan wudu`. Walau hanya dalam mimpi, itu tampak nyata. Tidak ada gambaran sedikitpun dalam benakku saat berada dalam mimpi itu bahwa itu adalah mimpi. Aku mencoba berlari sekuat-kuatnya dan bersembunyi agar selamat.
Hujan batu berselimut api itu menggemparkan penduduk bumi kedua kalinya. Namun, jatuhnya kini sedikit berbeda dengan sebelumnya. Kali ini, hujan yang menurutku adalah sebuah meteor yang sebelumnya terjadi dalam mimpiku itu, menimbulkan suara ledakan yang sangat keras. Tidak hanya itu saja. Bahkan, ledakan tersebut disertai dengan sebuah benda padat dan api disekitar tubuhnya. Terlempar dan jatuh jauh sekali dari letak asalnya jatuh. Bumi serasa ditembaki sebuah kapal yang besarnya hampir sama dengan bumi. Bahkan mungkin lebih besar. Terpantulnya batu api besar tersebut ke rumah-rumah warga membuat dunia ini gaduh. Teriak anak kecil yang berada di gedung yang hmpir runtuh; jeritan tangisan sang ibu dari gubuk tua yang terbakar yang sedang mencari anaknya yang terjepit di dalam dan pak tua yang hanya bisa menggerakkan bibirnya menandakan dinamika besar yang terjadi saat itu. Saat itu siang tapi seperti malam. Sebab, awan hitam menelan siang. Lampu hanya nampak aliran listriknya saja. Petir menyambar-nyambar. Apa yang terjadi ini ya Allah?
Untungnya, aku terbangun dari tidurku. Lalu aku Istigfar tiga kali sambil menghela napas dan kemudian merenung keadaan diriku. Tak pelak, dalam termenungku, aku berpikir sambil ber-angan tentang apa maksud dari mimpi ini. Sampai saat ini masih belum ku temukan apa maksud dari mimpiku ini. Tapi, diluar sana kejadian-kejadian yang hampir serupa dengan mimpiku terjadi. Dan itu terus menerus tanpa berskala. Gunung merapi meletus, anak krakatau mengikuti jejak gunung merapi. Meskipun saat ini sudah tidak lagi tapi sisa-sisanya masih ada. Diantaranya adalah banyak jembatan yang roboh akibat lahar dingin dari merapi. Dan apakah ini berhubungan dengan mimpiku? Wallahu `a_lam_bisyowab.
Setelah lama aku termenung. Aku berdiri dari tempat tidurku dengan wajah pucat dan badan lunglai. Ku tatapkan wajahku pada dinding yang terdapat jam dindingnya. Ku melihat jam masih menunjuk pukul 4 subuh. Selisih 15 menit dari tidurku sebelumnya. Masoh ada waktu untukku bermunajat pada Tuhanku dan mengadukan mimpiku padanya walaupun dia dzat yang maha mengetahui. Aku berwudu` di kali tempat tinggalku. Karena gelap dan lampu di dekat kali tersebut tidak hidup. Aku tidak melihat apa-apa di sekitar kali itu kecuali titian yang dibuat warga untuk tempat cuci pakain.
“Jendarrrr…..” aku terpeleset dan tersungkur dari titian itu.
“Astagfirullah…” teriakanku saat terjatuh. Malam yang sepi nan sunyi membuat teriakanku terdengar keras. Sehingga, tetangga-tetanggaku terbangun. Tidak hanya satu dua orang saja, hampir seluruh penghuni rumah yang berada di sekitar kali tersebut terbangun dan berlari membuka pintu rumahnya untuk melihat apa yang terjadi. Keadaan yang tadinya remang-remang menjadi terang. Lampu yang terdapat pada kali itu hidup. Warga yang terbangun tadi mengitari dan melihatku heran. Saat itu aku mengusap wajahku yang penuh dengan tanah basah sambil menatap wajah mereka satu persatu. Mereka yang terbangung saling melontar pertanyaan heran. “Ada apa ni…?” Tanya mereka ingin tahu apa yang terjadi. Pertanyaan itu terus menerus terdengar dari mulut kemulut hingga pertanyaan warga itu menghiasi pagi menjelang subuh saat itu.
“Hei, siapa kamu ?” tanya seorang warga yang sedang memegang pentungan dengan nada keras. Mungkin ia menganggap Supri yang masih berada dalam parit tempatnya terjatuh itu adalah orang yang hendak mencuri. Dengan agak menggigil supri menjawab, “ini aku pak, Supri.” jawab Supri meyakinkan. Salah seorang pria lainnya menerangi wajahku dengan senter yang dibawanya dari rumah seraya berkata, “Supri…?” ujarnya heran. Mendengar jawaban Supri, warga tambah heran dan kembali saling tanya antara satu dengan yang lainnya. Hingga akhirnya tiba-tiba dari kerumunan muncul wajah yang tidak asing lagi dari otakku. Ia adalah ibuku.
“Supri, itu kamu na` ?” tanya ibuku heran sambil menatap wajahku yang sedikit berlumuran lumpur.
“Iya bu, ini anakmu Supri.” jawab supri melas.
“Apa yang kau lakukan di situ na`?” tanya ibu pada anak yang sedang ditarik keatas oleh seorang warga. Akibat lama berada di dalam air, walau supri sudah tidak berada dalam kubangan air lagi, ia tetap menggigil hingga suara gesekan antara gigi atas dan bawahnya terdengar. Maklum, masih pagi. Suasana masih diliputi banyak embun segar. Dengan keadaan tangan melipat diatas dada yang juga sambil menahan sarungnya yang basah kuyup, agar tidak melorot tentunya, ia menceritakan kejadiannya dari awal.
“Supri nda` tahu mak, kalau di titian itu ada sabun mandi tanpa sehelai-pun bungkusannya. Jadi supri nginjak itu lalu terjatuh deh.” ungkap Supri sambil berdiri gemetaran. Tiba-tiba ada suara dari kerumunan bertanya dengan nada keras, “eh, kami tahu kalau kamu jatuh! Tapi kenapa kamu berada di tempat ini malam-malam, kamu ingin maling kan?” celetup salah seorang warga dengan wajah yang muram durja. “nda`…nda` gitu…” jawab supri ketakutan. Ibunda tercinta yang berada disampingnya berkata, “pak yono. Pak yono jangan bicara sembarangan ya. Mendingan kembali tidur sana, istrinya sudah nunggu tuh!” tegas ibu supri sambil membawa supri pulang. Mendengar ocehan seorang janda paruh baya tersebut, pak yono yang menuduh supri sembarangan itu pergi berlalu dan pulang kerumahnya. Warga yang mendengar itu menyoraki pak yono. Sebab, di depan rumah pak Yono kelihatan istrinya yang hanya memakai sehelai kain yang dililitkan ketubuhnya untuk menutupi tubuhnya. Dan rambutnya tampak acak-acakan. Tentu itu menarikperhatian warga hingga masalah Supri seolah hilang tanpa jejak. “Wuu…..h…” sorak warga yang berada dalam kerumunan pada pak Yono. Dan warga pun berlalu pulang ke rumah mereka masing-masing. Sedasng warga yang masih penasaran masih bertanya-tanya tentang apa yang telah terjadi. Dari kejauhan, bisik-bisik pertanyaan itu terdengar walau tidak terlalu jelas.
Setelah supri mengganti pakaiannya, adzanpun berkumandan. Supri pergi kemasjid Hisbullah yang berada di dekat rumahnya. Ia pergi ke masjid bersama orang-orang yang tadi melihatnya tampak bodoh. Jika ia bertemu dengan salah seorang yang melihat tadi padi itu, Supri-pun merasa malu dan untuk menutupi rasa malunya itu, ia berjalan sambil menundukkan kepalanya. Seperti biasa, dalam masjid yang masih di rehab itu, terdapat orang-orang yang sudah tua. Kemungkinan, rata-rata dari mereka berumur 50-an atau bahkan lebih. Tapi ada juga yang muda. Diantaranya adalah Supri dan Fariz. Supri dan fariz memang rajin ke mesjid. Meraka berdua lebih senang sholat di masjid daripada di rumahnya. Pada waktu subuh, si supri terkadang sholat di masjid kadang juga tidak. Sedangkan Fariz, sholat di masjid adalah suatu yang wajib baginya kecuali siang. Sebab, ia kuliah dan sholat di mesjid kampus.
Setibanya supri di masjid, iqomah langsung diteriakan. Padahal ummat yang berada di rumah Allah itu hanya tidak melebihi satu shaf. Dan itulah pemandangan tiap subuh yang supri lihat di masjid. Tentu ini sangat ironis. Berbeda dengan sholat jum`at. Di mana saat itu, masjid sulit untuk menampung ummat sholat di dalamnya. Akhirnya, mereka yang datang terlambat harus rela sholat di tempat yang biasa digunakan kendaraan lalu-lalang.
Namun, itulah kenyataan dan faktanya. Muslimin mungkin saat itu muslim sedang halangan. Kelelahan menafkahi anak-istrinya. Si ibu sibuk beres-beres; si anak lelah bermain keluyuran. Hingga untuk bangun di waktu subuh ketika itu sulit. Sehingga tidurnya pulas dan menyebabkan panggilan ilahi tidak terdengar. Mudah-mudahan begitu. Jadi, jika nanti urusan dunia mereka selesai, mereka akan kembali ke pangkuan sang-kholik. Amin…
Bersambung…
Kamis, 07 April 2011
Bawa` dirigen…
Oleh : Holi Hamidin
Saat ini bahan bakar sulit dicari; apalagi bensin. Untuk mendapatkan barang itu, harus antri setengah jam bahkan lebih. Itu-pun jika kebagian. Walau ada alternative lain, tapi jalan itu juga harus merogohkan uang yang banyak; yang jauh berbeda dengan harga sebenarnya.
Hari minggu (27/02) Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Sekolah Tinggi Islam Negeri (STAIN) Pontianak menggelar rapat. Tak tanggung-tanggung, acara tercebut digelar di jungkat beact. Di tempat yang jauh dari kampus itu. Tentu hal ini butuh persiapan yang matang untuk mengatasi segala kemungkinan yang akan terjadi di jalan nanti.
Bensin motor yang ku punya ku rasa janggal. Alih-alih untuk membeli muncul saat itu. Terpaksa menuju pom bensin terdekat. “waw, ramainye…” ujarku terkesan dengan keadaan pom bensin pagi itu. Sekitar jam 8-nan aku tiba di sana. Panas matahari tak ada yang membendung. Kendati sekali-kali berteduh pada orang sebelah, panas yang menyengat tetap saja terasa.
Sambil menunggu aku memperhatikan orang-orang yang juga menunggu giliran. Diantara mereka ada yang membawa dirigen yang di singsingkan di sebelah motornya. Walau tidak besar, namun itu melebihi 2 liter.
Sebelum tiba giliranku, aku melihat ada kertas yang dipajang di tiang penyanggah paying. Kertas itu menyatakan permohonan ma`af karena sementara ini tidak dapat melayani pengisian melalui dirijen dan sebagainya yang selain kendaraan. Ironisnya, sang penjaga pura-pura tidak tahu. Tetap saja ia menuangkan atau melayani mereka yang sedang membawa dirijen.
Akhirnya, sampailah giliranku. “ful bang…” pintaku pada seorang penjaga bensin. Ku buka jok motorku yang menutupi lubang tempat bensin dituangkan. Aku terkejut. Ternyata, bensin ku masih penuh. Aku nyesal. Ngantri setengah jam hanya numpang berjemur. “Besok-besok bawa dirijen jak.” kataku kesal dalam hati.
Jika seperti ini kejadiannya, moh aku ngantri age`…
DI BALIK LAYAR WARTA
“Ey…budak-budak udah belom beritanya tu…”, tanya Ambar kepada crew warta lainnya.
“Alah…..kakak ne…belomlah kak”, jawab taufiq
“Cepetan tu di selesaikan, kita hari Senin dah harus deadlaine semua ya…ambar tak mau tahu”, begitulah ketua redaksi penerbitan kami ketika mengingatkan baik ketika sedang malaksanakan rapat redaksi maupun hari-hari biasa.
Ambar emang cocok sich sebagai ketua divisi penerbitan, karena dia mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki crew warta lainnya, yaitu comelnya tuu…..dan dia tu..ngak bosan ngingetin crew-crew lainnya agar cepat mencari berita (liputan). Tapi kami sudah terbiasa dengan omelannya, sehingga tepat waktu deadline biasanya berita baru di ketik, itu mending sich…terkadang molor sampai hari berikutnya.
Ngak bisa banyangin, bagaimana ketua redaksi kami pasang muka serem dan kalau mungkin bisa di lihat janagan-janagan udah bertanduk kali ya.
“Ica…hari ini harus liputan besok ngak ada lagi waktunya tuk liputan”, kata Ambar dengan nada sedikit lebih tinggi ketika setelah mengikuti presidium general di UPT.
“Mbar…kame ne..nak ke tempat Hendra”, jawab Ica yang biasa juga kami panggil Ngah.
“Kapan lagi, Ngah nak liputan, hari ne dah hari Sabtu, Senin kita udah deadlaine lho..”, kata ambar selanjutnya dengan sedikit memaksa.
“Ya…Mbar,tapi hari ne…kame se-kelas udah janji mau tempat Hendra, kan bisa Senin”, jawab Ica kesal.
“Ey…kapan lagi nak nulis beritanya tu…”, jawab Ambar “Pokoknya Ambar ngak mau tahu ya..senin udah harus deadline”, kata Ambar berulang kali, emang ngak da bosan-bosannya dia tu ngingetin kami.
“Aku bukan anak kecil bah…tahu kapan aku harus kerjakan kerjaanku”, kata Ica menggerutu.
Semua mahasiswa dan dosen satu persatu meningalkan gedung UPT, begitu juga Tim Warta..mereka mulai berpencar mencari berita, yang sebelumnya telah dibagi jatahnya untuk meliput.
“Gimana kak? Jadi ikut kami atau liputan”, tanya Rika.
“Entahlah…”, jawabnya tidak bersemangat. “Ikut”, jawabnya kemudian.
“Beneran neee….”, tanya rika lagi untuk memastikan.
“Ia..tak enaklah ma Am kan, dia udah siap-siap lho, kakak pun dah niat kesana”, jawabnya dengan menyakinkan dirinya sendiri.
“Bisa hari senin kok liputannya”, tambah Ica.
Tak lama kemudian anak-anak BPI V nak berakat nich ke tempat Hendra di Kakap, tapi tiba-tiba aja Hp Ica berbunyi.
“Mau nyelesaikan berita atau mau jalan-jalan nih…..kalau jalan-jalannya penting taka pa-apa lah..”, terdengar suara dari seberang sana yang tak lain adalah Ary Yunaldi ketua LPM kami.
Tak kuasa nahan emosi, Ica langsung masuk ke dalam kelas. Bujuk rayu pun udah dilancarkan…tapi tak satupun dapat membujuk Ica, emang susah kalau dia udah ngambek.
“Ayok kak, jangan sampe gagal dua-duanya lho..”, kata Rika.
“………..”, Ica diam tanpa kata, hanya menunjukkan wajahnya yang cemberut.
“kakak kenapa? Tadi dah baik-baik aja”, tanya Rika lagi.
“Kakak tu ngak bisa disuruh liputan sekarang, apalagi dah niat dan janji ma teman-teman mau tempat Hendra, tapi ada yang marah tuu….”, katanya menjelaskan sambil memonyongkan bibirnya.
“Hemmm,,,ya udah. Ayok buruan. mereka udah pada nunggu tu di depan”, kemudian Rika mengajak Ngah ke tempat Hendra.
Dari ujunng sebelah kanan gedung Dakwah terlihat salah satu crew LPM yaitu Ira, mendekati Ica. Ira adalah salah satu tim Ica meliput tentang perpustakaan..sedangkan lainnya adalah Mely Diana dan Japri. Terlihat Ica menjelaskan apa-apa saja yang akan menjadi bahan pertanyaannya. Dan kemudian Ica jadi ikut teman-temannya ke Kakap.
Hari senin, suasana di ruang LPM ramai sekali, walaupun ruangan yang hanya berukuran 2 m X 2 m tidak membuat kami yang berjumlah 21 orang merasa tidak jenuh, hampir tiap hari crew-crew LPM berkumpul. Apalagi waktu deadlaine…pokoknya penuh banget dech, tapi kami tetap merasakan kebahagiaan dengan berkumpulnya keluarga besar kami.
Semua sibuk, bak Wartawan di sebuah media cetak. Mereka konsentrasi menulis berita masing-masing, bahkan masih ada yang lalu lalang mencari berita di luaran sana.
Hampir semua berita belum terselaikan, dari riset, artikel bahkan prasasti pun belum dikerjakan.
“Waduh-waduh..bagaimana ini..”, desah Ambar.
Eits…rupanya berita Ambar ma teman-teman yaitu Hakim, Taufiq, Kiki dan Herianto yang lain juga baru diketik hari itu.
“Rika…Risetnya udah selesai?”, tanya Ambar.
“Belom..baru dapat satu lembar”, jawab Rika.
“Bang Ari..Artikelnya udah selesai belom?” tanya Rika kepada Ary sebagai coordinator artikel.
“Artikel tu..tak harus ary sendiri yang nulis”, kata Ambar, “ Cari orang lain, tapi jangan Ihsan, Ian, Septian, atau Dono ya”, tambah Ambar.
Hehe…..maklumlah orang-orang yang disebutkan di atas udah terlalu sering nulis artikel di warta, maksudnya cari yang lainnya, agar pinternya tak orang-orang itu jak.
“Assalamualaikum…”, jawab serombongan crew-crew warta.
“Waalaikumsalam..”, jawab Tim warta yang berada di dalam.
“Kak, kapan kita terbit?” tanya Iza dan Ira sambil membetulkan duduknya.
“Minggu depan”, jawab Ambar.
“Benarlah kak?” jawab mereka terkejut, “Tadi kame bilang minggu ini dah mulai terbit lho ke mereka (mahasiswa)”, kata Iza.
“Ia..kak”, tambah Omy.
“Mana bise terbit minggu ne…berita jak belom jadi, belom ngeditnya, belom nak layout dan juga ke percetakannya”, Ambar menjelaskan.
“Aduh,,gimana lah, mereka udah nanya-nanya warta tu…”, kata Omy.
Memang sebagian mahasiswa sangat antusias dengan adanya warta, dan bahkan mereka menanti dan bertanya-tanya kapan warta terbit. Mudah-mudahan semua mahasiswa seperti mereka dan sangat berpartisipasi dalam penerbitan warta. Akhirnya berita kami dapat selesaikan di samping kesibukkan lainnya sebagai mahasiswa, dan warta pun dapat terbit ke tangan anda.
Pada hari minggu tanggal 1 Juli 2010 ada Tehnikal Meeting (TM) bagi peserta Opak. Semua kru LPM wabil khusus angkatan Cebor di haruskan datang lebih awal dari pada peserta. Menurut ketua LPM Sahirul Hakim tentang hal itu, jika datang diawal waktu, kru akan mendapatkan banyak informasi yang bagus.
Namun, pada saat hari ‘H’, masih terdapat diantara kru yang datang tidak seperti yang diharapkan ketua LPM dan senior kemarin.”Abang lewat di ayani ke ?” Tanya Mahmudah kepada rekannya Holi yang juga terlambat datang. Tapi Holi hanya diam saja sambil tergesah-gesah menuju Aula tempat peserta TM. Anehnya, Mahmudah tetap saja curhat pada Holi. “Di Ayani macet total bang !” katanya. Dengan nada mengejek sambil tersenyum, Holi jawab, “Itu derita lo.” Dan dahi Mahmudah pun berkerut.
Di tempat kejadian peristiwa alias di Aula, kru LPM lainnya sudah pada berkumpul dan bertebaran di tempat itu sambil mencari-cari berita untuk edisi Opak periode 2010-2011.
“si Ninda kemane ye ? Tanya kiki gelisah.
“Katenye die datang terlambat ki, die ngantarkan bibi`nye,” jawab Hakim
“Ka` icha na` datangn jam 9 katenye !” tambah Hakim
“Wadoo, cemane nich,” ujar Kiki
“Ha`ah, kamerakan die yang bawa`, gimane mo` moto-moto budak ni klu ta` ade kameranye,” tambah Hakim ikut gelisah. “Holi bawa` kamera ?” Tanya Hakim pada holi yang kebetulan ada didekat mereka maratap nasib. “aku bawa` bang, tapi ngedrop,” jawab Holi. Holi memang tidak punya kamera tapi dia calok, jualkan punya pamannya jadi dia pinjam dulu. “ha-ha-ha,” tawa` Kiki dan Hakim pada Holi. “itu sich same jak bual,” komen Hakim.
Dengan kualitas camera yang tidak mendukung, Holi tetap saja menggunakannya. “ini bise dipake` bang,” kata Holi pada Hakim dengan nada semangat. “Tapi cara make`nye gini, kalo` udah di foto langsung dimatikan.” Ujar Holi ngajarkan. Namun bang hakim tidak berkomentar tentang itu dan Holi pun kembali mengambil gambar dengan menggunakan camera pinjamannya itu.
Di lain sisi, tampak kru LPM lainnya dari angkatan cebor tampak bersemangat untuk momentum ini. Walaupun tidak semua kawan-kawan mereka datang seperti Fahri yang sedang pulang kampung (Pulkam) tapi tidak menyurutkan semangat kawan-kawannya. Tapi masih ada juga yang ngeluh kebingungan. “Mo` ngeliput ape ye bang ?” Tanya Mahmudah kebingungan, “truz ape jak yang mo` ditanyakan nich. Hado hay.” Tambahnya risau.
“Berita tuh peristiwa yang dilaporkan. Jadi care` peristiwa truz wawancara lalu di laporkan.” Jawab Holi so` bijak. “gitu ja` ba bingung !” tambah Holi ngejek. karena edisi ini berbeda dengan yang sebelumnya. Jadi pimpinan redaksi tidak memberikan ketentuan pada mereka untuk liputan seperti yang dilakukan mereka pada edisi sebelumya. Artinya, mereka harus berjuang sendiri. Mereka harus menggunakan naluri mereka sebagai wartawam yang kreatif agar mendapatkan berita hasil dari pengamatan mereka sendiri.
“Susi mo` ngeliput ape ?” Tanya Jumita yang seangkatan dengannya.
“Entah, kame` bingong nich, tapi kami mo` ngeliput data-data panitia Opak.” Jawabnya dengan semangat. “Mita ngeliput ape ?” Tanya Holi padanya. “Profil ketua panitia dari Lembaga bang nge…!” jawabnya dengan tegas.
“Loh…ko` same denganku ?” Tanya Holi heran. “Tapi punya tidak cumin profil die jak !” tegas Holi. “klu gitu ku titip Pertanyaan jak, biar nda` bolak-balek wawancara.” Kata Holi menyarankan. “boleh la bang. Mane die pertanyaannye bang ?” jawab mita setuju dan kemudian Holi menyerahkan apa yang telah di catatnya kepada Jumita.
Ketika suasana di Aula mulai rebut-ribut, Ketum LPM, nda dengan pakain serba hitam yang kemudian duduk di kursi yang ada di samping kiri Aula dekat ‘ma` kembar’ Alias ira dan Iza...
Langganan:
Postingan (Atom)