Pengikut

Sabtu, 11 Desember 2010

Pacaran
Oleh: Holi Hamidin

Pacaran adalah menjalani hidup dengan seorang yang bukan muhrimnya tapi dicintainya tanpa ada status nikah. Seorang yang sudah mengungkapkan perasaan rasa cintanya kepada kekasih yang dicintainya lalu kemudian sang kekasih menerima cintanya (Jadian) maka secara otomatis mereka sudah berirkrar janji sehidup semati. Jadi apa yang dimilikinya juga dapat menjadi milik kekasihnya dan bukan suatu yang aneh lagi jika mereka berdua melakukan apa saja yang mereka inginkan terhadap satu dan lainnya seperti berdua-duaan, pegang-pegangan, cium-ciuman dan sebagainya.
Pada zaman modern saat ini, banyak segelintir komunitas yang melakukan ‘pacaran’, bahkan jika ada sekelompok individu tidak ber-pacaran maka ia akan di kategorikan katro` . Bukan dikalangan remaja saja, orang tua zaman sekarang ini juga lebih senang melihat anaknya memiliki kekasih yang setiap malam minggu ada yang menjemput untuk keluar jalan-jalan ber-dua-an dan dari mereka cendrung sedih jika anak gadisnya hanya berdiam diri di depan Televisi saja.
Jika pacaran berdampak positif artinya banyak maslahat daripada mafsadatnya maka boleh-boleh saja bagi seorang yang non islam bila berpacaran dapat membuatnya lebih baik dalam mengarungi bahtera kehidupan yang ia jalani daripada nge-jomlo. Dengan memiliki kekasih, masalah akan lebih cepat dilupakan dan paling tidak ia tidak sendirian untuk mengatasi masalah yang sedang ditimpanya.
Tapi, perbuatan semacam itu tidak dibenarkan oleh agama Islam karena banyak modhorot ketimbang maslahatnya. Benar ada kalangan dari beberapa ummat yang tidak kita ketahui kealimannya memiliki hujjah (Argumen :pen) namun hujjah yang mereka gunakan tidak lain adalah semacam “pemerkosaan ayat” saja, artinya menggunakan ayat dengan penafsiran menurut akal mereka ( Birra`i) agar apa yang mereka lakukan benar( dan tidak bertentangan dengan agama.
Tapi generasi Islam zaman sekarang malah “lata”. Mereka ikut-ikutan pada `amaliah yang tercipta dari ‘zionis’ (Pengaruh yahudi) itu;menjadi pelaku dalam berpacaran;juga tak banyak dari mereka adalah seorang dari kalangan santri. Walau tidak semua namun paling tidak mengalahkan minoritas santri yang masih takut untuk hal semacam itu.
Mereka bukan tidak mengerti dan tidak tahu pada apa yang dijanjikan Allah kelak terhadap orang-orang yang melanggar larangannya. Tapi mereka hanya pura-pura tidak mengerti dan tidak tahu semata. Hal itu timbul karena mereka suntuk, bosan, dan parno` dalam kesendirian dan terbiasa untuk itu, jadi untuk tidak berkecimpung pada dunia seperti itu sangat sulit akhirnya mencarri hujjah dalam al-qur`an dan hadist yang senada dengan kehendaknya.
Untuk itu, gunakan waktu mudamu sebelum tuamu untuk membiasakan berbuat sesuatu yang baik dan memusuhi terhadap apa yang buruk dan biarkan hukum Islam (Syariat) menjadi filsafat hidup (Way of life) supaya mandapat kebahagiaan yang hakiki dan dapat pterbiasa nantinya. والله اعلم بااصواب

Minggu, 05 Desember 2010

Gugurnya Mbah Tercinta

Terkejut aku setelah membaca SMS yang masuk di Hand phond-ku. Seluruh tubuh bergetar dan dadaku seolah menekan hingga hati ikut merasakan getaranya. Air mata hendak turun namun ku coba untuk menahan. Serasa menyesal benak ini karena tega meninggalkannya di saat detik-detik terakhirnya untuk pergi ke suatu tempat yang mungkin lebih berarti menurutku. Sebelum pergi ibuku memanggilku dengan nada yang begitu cemas. “Holi, cepat kesini !” perintah ibu di saat nyawa si Mbah naik turun. “Jangan kemana-mana, dan terus bacakan surat yasin.” Perintahnya. Tapi ku berontak. Biasa, penyakit sombong menjajahku lagi. Tapi, tidak ku lafadz-kan kekesalanku. Semua kekesalanku terpendam dalam hati. Meskipun begitu, yang namanya laki-laki susah untuk menyimpan prasaan. Jadi ku luapkan pada pamanku yang saat itu berada di depanku. “Mama pikir, surat yasin itu di gunakan untuk mengusir malaikat. Mama pikir, setelah di bacakan yasin, Mbah-ku akan sehat kembali dan langsung dengan kontan akan berdiri lalu berlari.” curhatku sambil mengumpat-umpat.
 Dan apa yang tidak diinginkan pun terjadi. Marisem;Mbahku ini akhirnya pergi tanpa ada diriku di sisinya. Hatiku berkata, “Ya allah, akhirnya dikau mengambilnya kembali. Kembali kepangkuanmu. Di tempat yang kekal di dalamnya. Walau berat tapi mustahil dia akan kembali lagi kecuali ada kehendak ilahi.” Itulah jawabku dalam hati ketika membaca SMS yang masuk berusan. SMS itu menyapaku dengan hanya beberapa kata saja, “Bang, Mbah sudah meninggal.” SMS adikku. Sempat tercengang akibat efek terkejut yang mendalam. Namun, jari tetap bergerak dengan perasaan yang mencoba untuk tenang untuk membalas SMS. Dan tiada kata yang pantas ku ucapkan selain kata innalillahi.
Waktu terus bergulir seperti biasa dan muhal untuk di halau lajunya. Ku percepat keperluanku dan pamanku dengan gelisah. “man, Mbah udah wafat.” Beritaku pada pamanku. Sontak, pamanku terkejut. “Innalillahi wa innalillahi roji`un …!” jawabnya. Ku coba mengajaknya untuk segera meningalkan tempat yang sekarang didiami sekarang. Dan kuajak ia untuk kerumahku sebebntar untuk mengambil sebuah buku. Ya, buku. Buku ini kupikir sangat penting sekali. Sebab, berkaitan dengan syari`ah. Ku ingin membawa buku ini agar nanti dapat bermanfaat untuk keluarga yang terkena musibah. Buku ini adalah buku panduan untuk ummat manusia. Di dalamnya berisi ajaran-ajaran mujtahid fiqih salafiyah yang mengkaji ilmu masyarakat. maksudnya, kajian di dalamnya ini menjelaskan bagaimana Islam mengatur kehidupan bermasyarakat dan bersosial. Dan juga menjelaskan tata cara dan berbagai hal tentang hal yang berhubungan dengan masyarakat. Seperti mengurus manusia yang tidak bernyawa lagi. Itu salah satunya.
Perjalanan kami sempat tertahan dan kami mengalami sedikit kesulitan dalam menumpuh tujuan. Terlihat dari jauh, beragam pemuda yang diantaranya bersama dengan gandengannya menuju tempat. Ku dengar tempat itu akan hadir sebuah band gambus al-madinah yang saat itu banyak sekali peminatnya. Ku coba untuk meliwati jalan lain agar cepat tiba di tujuan dengan cepat. Sayangnya, kami tidak dapat menghindar dari keramaian yang menimbulkan kemacetan panjang. Entah berapa motor markir di tepi jalan yang tidak sepatutnya di gunakan untuk lahan parker. Tapi ku maklumi, itu akibat mereka yang telah ditipu daya dunia fana ini.
Sebenarnya, disamping agar ku datang dengan cepat, ku ingin menghindari melihat kemungkaran yang menjadi budaya yang tak sepantasnya ditonton. Setiap mata memandang peristiwa itu, hati menangis dan kesal. Untuk menghibur hatiku, makanya kuberfikir bahwa ini memang sudah takdir. Memang hanya itulah yang dapatku lakukan. Hanya bisa berontak dalam hati semata.
Akhirnya kami tiba, ku melihat ramai orang di depan rumah Mbah-ku. Tapi, aneh! Tak seorangpun diantara wajah mereka yang tampak sedih. Mereka biasa-biasa saja tanpa merasa kehilangan. Dan malah ada yang ketawa-ketiwi. Seolah-olah tempat itu warung kopi. Ironis sekali. Tapi dari pada tidak sama sekali kan ramai pengunjung itu lebih baik. Tenaga mereka berguna tapi tidak sekarang.
Di dalam rumah terdengar gemuruh suara tangisan yang menjadi-jadi. Suara tangisan yang diiringi dengan kesibukan perorangan – mondar-madir melewati si mayat— tidak dapat terhindari lagi. Aku mendekati sambil merintih dalam hati. Di samping pintu terdapat seorang wanita. Wanita ini adalah anaknya yang sedang memperhatikan mayat ibunya yang telah ditutupi sehelai kain panjang. Ia memandang sambil mengalirkan air mata saraya berkata, “Engkau sungguh meninggalkanku untuk selamanya ibu.” ujarnya sambil tersendak-sendak seolah tak percaya akan musibah yang menimpanya.
“Ya allah, limpahkan rahmadmu pada nenekku itu. Mudah-mudahan engkau memberikannya tempat yang lapang padanya.” Do`aku dalam hati. Cucu-cucu beliau teus menerus membaca surat yasin sambil menangis haru. Mungkin mereka berharap bahwa tubuh yang tidak bernyawa itu akan kembali sehat dan menyapa mereka sambil tersenyum. Tapi itu hanya keinginan anak-anak yang tidak rasional. Dan memang maklum adanya. Wallahu`allam
 

Merenung Sejenak

Setelah beberapa menit Holi mengoceh di hadapan beberapa siswa-siswi MTsN 02 Kota Baru Pontianak; yang menjadi peserta kampanye menulis dari Clup Menulis STAIN Pontianak, mayoritas peserta hanya termenung saja. Sedangkan peserta yang lain yang dibimbing ketiga temanku, semua sudah melakukan instruksi dari pembimbing mereka. Mereka menunduk serius hingga tulisan mereka hampir sempurna.Akan tetapi waktu jua yang menentukan. Sebab, tidak berselang lama kemudian bimbingan Holi, yang tadinya hanya termenung dan senyum-senyum saja, akhirnya memulai memainkan pena mereka. Mungkin ide sudah didapati. Dan pikiran Holi yang sebelumnya bahwa instruksi yang disampaikannya tidak dapat mengubah meraka bahwa menulis itu sulit salah. Dengan tanpa beban mereka menulis di kertas yang mereka miliki. Serius namun tetap santai. Sebab, sembari menulis mereka menikmati hidangan yang disediakan guru-guru. Walaupun hanya segelas air minum, kue dan permen.
Sebelum itu terjadi, termenung menimpa mereka. Lebih-lebih Larasati.dia malah kebanyaan terdiam. Kadang ia memegang penanya sambil memutar otaknya untuk mencari ide. Menoleh ke kanan dan ke kiri. Seperti orang kebingungan. Sesekali ia meletakkan miring kepalanya di atas meja. Sesekali mengangkat wajahnya dan pandangan wajahnya lurus ke depan dengan waktu yang lama. Tapi sepertinya Holi membiarkan hal itu terjadi padanya. Tidak cuma larasati saja. Holi juga mendiamkan apa yang telah terjadi. Agar mereka tahu bahwa hal yang paling sulit adalah kapan memulainya.
Meskipun demikian, tiba-tiba larasati memancarkan wajah yang girang. Mungkin ide yang dicari didapatnya. Dan kemudian ia membasahi kertas putih miliknya dengan pena miliknya. Ibarat detektif Holi mengintip sedikit apa yang telah di tulis oleh larasati. Dalam benak Holi terdapat rasa penasaran dan ia mendapati dan membaca tulisan di atas yang hanya tertulis satu kata yaitu ’Alay’. Itulah judul karangan larasati saat itu.
Selain Lesteri juga terdapat peserta bimbingan Holi yang masih termenung. Malahan peserta itu saling diskusi. Peserta itu adalah Ilma dan Cahya. Sepertinya, mereka berdua itu kompak. Soalnya, keduanya sama-sama belum memulai sama sekali setelah instruksi selesai.
Masalah yang dihadapi tidak jauh berbeda dengan Larasati. Yaitu masih belum memiliki ide yang hendak di tulis. Seolah-olah dunia ini tiada warna hingga sulit sekali menetapkan sebuah ide dari fikirannya. Dan motifasi dari sang mentor pun seolah-olah tiada guna baginya. Waktu yang sebentar untuk menjelaskan masih belum dapat membuat mereka meyakini bahwa mereka itu juga bisa membuat sebuah karya.
Tapi peserta itu butuh waktu. Nabi muhammad saja butuh 13 tahun untuk mendapatkan hasil yang maksimal dalam menyebarkan tauhid pada ummat beliau. Itu artinya wajar. Kesulitan buat pemula adalah hal yang wajar saja. Proses untuk sukses tentu secara sistematis. Bukankah mereka itu manusia juga. Bukan jin atau malaikat yang memiliki kekuatan yang di luar batas kemampuan akal. Hanya orang-orang pilihan saja yang bersifat demikian.
Walau demikian, ada perasaan kagum dalam dan bangga dalam diri sang mentor. Setelah melakukan ritual beberapa menit. Maksudnya termenung sejenak, mereka saling berlomba untuk mengdapatkan hasil yang sempurna dan yang terbaik untuk Holi yang menjadi mentor mereka. Mungkin mereka tidak ingin mengecewakan sang mentor atau ada rasa malu terhadap yang lain jika tidak memiliki karya tulis saat itu. Mereka mungkin tidak ingin jadi pecundang. ”kawan lain telah nulis kenapa aku tidak. Mereka bisa mengapa aku tidak !!!” mungkin itulah kata-kata yang ada dalam beranda hati mereka untuk memotifasi diri mereka.
Nurul Marfira. Ia adalah salah seorang peserta yang menurut Holi memiliki keinginan untuk bisa menjadi penulis hebat. Dalam dirinya tampak sebuah semangat. Yaitu semangat seorang pemudi yang ambisi dalam menggapai cita-citanya. Alasannya, sejak setelah intruksi membuat satu karangan dikumandangkan oleh sang mentor, Nurul langsung bergegas; tanpa banyak termenung ia corat-coret bukunya dengan pena miliknya. Dan itu terus ia lakukan hingga sebuah karanganpun selesai disuguhkan.
Tapi, semuanya hebat. Ada kemauan dalam diri mereka. Kemauan mereka tumbuh perlahan-lahan. Kesuksesan dan cita-cita masih membebani benak mereka hingga membuat mereka optimis. Sehingga semua menyuguhkan karya yang berbeda-beda. Faiz, Hukma, Seilma dan lainnya menciptakan sebuah karya yang mungkin menurut mereka hanya sekedar tugas saja. Dan ini merupakan sesuatu yang luar biasa. Karena hanya beberapa menit saja, terciptalah karya yang sempurna. Sang mentorpun berucap alhamdulillahirabbil `aalamin. 

Jumat, 15 Oktober 2010

coretan basi

Surat Curahan Hati

Waktu itu aku ngerasa bosan terhadap mata kuliahku. Entah kenapa disaat itu pikiranku tak terkontrol;melayang tak tahu arahnya kemana. Tidak seperti sebelumnya, aku selalu aktif mengajuakan pertanyaan, menyanggah, dan menambahkan materi yang telah dibawakan temanku. Bahkan tak jarang dari kawan-kawanku yang mengeluh terhadap pertanyaan-pertanyaanku dan mengagumi pendapat-pendapat yang ku sampaikan pada teman-temanku.

Aku duduk berada diantara ke- 3 temanku, aku ada di tengah-tengah mereka. Di sebelah kananku teman priaku Irvan. Dia ini orang yang selalu santai dalam keadaan apapun. Memiki wajah yang tidak begitu jelek. Rambut amburadul. Sedikit bicara dan senyum. Walaupun dalam tingkah memalukan sekalipun. Dia cendrung pemalas dan sukanya TST (Tai SanTai)

Jarang aku melihat dia duduk didepan pada saat mata kuliah berlangsung kecuali pada saat itu. Dia duduk didepan sekali pas di samping kananku dan memasang wajah seolah-olah memperhatikan mata kuliah.

Selain Irvan, di samping kiriku juga terdapat seorang Ateman namun yang satu ini bukan seorang pria. Dia ini bernama Ati Maryati. Dia satu-satunya mahasiswa prodi PBA yang berasal dari Bandung. Makanya, kawan-kawan memenggilnya ‘teteh’. Cewek yang satu ini berbeda dengan cewek lainnya yang ada di kelasku. Dia terlihat lebih dewasa daripada kawan-kawan yang lain. Berparas cantik;lemah lembut;baik hati dan pintar juga cerdas.

“Daripada diam tiada guna, lebih baik aku gunakan saja pulpen dan buku kosoongku untuk menulis sesuatu yang bermanfaat.” pikirku dalam hati. Tanpa pikir panjang, ku coret buku kosong tersebut dengan tulisan yang dapat bermanfaat. Entah untuk siapa, pokoknya tulisan itu dapat menjadi kenangan kelak bagiku dan yang membaca tulisan tersebut.

Ter-inpirasi dengan temanku yang ada di samping kiriku yang cantik itu. Maka aku putuskan untuk membuat surat yang berisi puisi-puisi yang indah nan menggoda.

“Engkau cantik. Engkau baik. Kau wanita. Aku suka.”

“Jangan salahkan aku jika aku mencintaimu.”

“dan juga jangan salahkan aku jika aku selalu

memandangmu,

Memperhatikanmu tanpa ada idzin darimu.”

“Mataku menjadi susah untuk ku penjamkan jika ada

keinginan untuk tidur dan

itu semua karena ke-anggun-an yang ada padamu”.

“tapi apakah salah jika aku mencintaimu? Dan apa

benar jika kau marah

terhadap sikapku terhadapmu itu?”

Itulah sebagian tulisan bait puisi dalam surat itu yang kutulis sewaktu pikiranku beredar kemana-mana. Kemudian ku berikan tulisan itu pada Irvan dengan maksud meminta pendapatnya dan dia pun berkomentar. Pada saat itu waktu mata kuliah. Dimana yang lain sedang berkonsentrasi pada pelajaran, irvan dan aku malah berdiskusi tentang surat yang ku buat tadi.

“Ini bagus sob.” Komentarnya terhadap surat yang aku buat itu.

“Makasih, tapi apa benar ini dapat menjadi senjataku?” tanyaku padanya.

“Coba ja`!” sambil menyerahkan surat yang ku berikan padanya itu.

Sebenarnya, sebagian dari bait-bait puisi yang kubuat tersebut kuambil dari bait lagu sang legendaris Iwan Fals dalam lagu yang berjudul “Bola pimpong”.

Aku pura-pura mendengar apa yang dosen jelaskan. Tapi memanggil temanku yang berada di sebelah kiriku yaitu teteh dengan suara yang lirih seperti desis ular dan tiada satupun yang dapat mendengar kecuali aku. “Teh… o teh…!?” Aku kira teteh tidak dapat mendengar panggilanku,ternyata dia mendengarku. Itu dibuktikan ketika dia menoleh disaat aku memangggilnya.

Disaat si teteh menoleh ke arahku, langsung ku berikan surat itu padanya dan diapun membacanya. Tampak dari raut wajahnya yang semula serius terhadap mata kuliah berubah menjadi senyum yang memancarkan ke-anggunan yang mempesona. Artinya dia memberikan respon yang positif terhadap apa yang aku tulis tapi sayangnya dia tidak membalasnya. Aku maklumkan saja. Sebab pada saat itu adalah jam mata kuliah.

“Ternyata tulisan yang kubuat akan menjadi sebuah sejarah buatnya dan buatku.” Itu pikirku setelah aku tahu bahwa dia senang terhadap tulisanku dan menyimpan tulisan itu dalam tasnya yang mungil itu dan kemudian kembali belajar.

Disaat aku dan teman-teman asyik ngobrol-ngobrol di kantin depan, tiba-tiba Hpku berdering petanda SMS masuk. SMS itu dari Teteh yang menanyakan tentang kebenaran isi yang ada di suratku tadi. Tak ku duga, kalau Itu SMS darinya. “Holi, benar kah apa yang tadi kau tulis tuch?” Itulah bunyi dari SMS yang dikirim teteh padaku. Sontak aku jadi bingung;apa yang harus ku jawab. Memang benar aku yang menulis tapi tujuanku bukan untuk menembaknya. Aku lakukan itu karena aku di kelas tadi lagi pusing dan malas untuk berpikir tentang pelajaran. Jadi aku buatlah surat untuknya.

“gimana ya teh..? aku masih belum siap untuk mengatakan yang sebenarnya dan mungkin belum saatnya akan mengatakan itu.” Jawabku menghindar dari apa yang diinginkan teteh. “ya udahlah lupakan ja`.” Itu SMS terakhir dari teteh waktu itu.

Mana ku tahu kalau dia menganggap apa yang ku tulis itu sungguhan ? dan mana juga ku tahu kalau teteh akan berfikiran seperti itu padaku. Tapi yang jelas tulisanku itu dapat dijadikan contekan buat remaja yang ingin menklukkan wanita yang ia sayangi dan ia cintai. Dan hari demi hari terlewati dan peristiwa itupun telah teteh lupakan tapi tidak untukku. Peristiwa itu akan selalu ku kenang dan ku simpan untuk anak cucuku sampai tujuh turunan.

Holi Hamidin

STAIN Pontianak

Tarbiyah Prodi PBA

Semester II B