Pengikut

Jumat, 15 April 2011

Setitik dari Hidup
Oleh : Holi Hamidin

Sore saat itu dingin. Apalagi dicampur rintik-rintik hujan dan angin. Sebenarnya, jika saat itu Aku boleh memilih, tentu Aku memilih untuk menghindar dari hembusan angin. Agar tidak masuk angin. Tapi, di setiap jalan yang Kulewati, tak sedikit pun terbesit di penglihatanKu sebuah pohon beringin. Aku tabrak saja angin walau terasa sangat dingin.

Hari itu Aku mencari sebuah rumah. Rumah seorang dosen dan hendak mengantarkan tugas kuliah. Aku tidak tahu alamatnya dan itu yang membuatKu susah. Kusapa orang di sebelah, yang kebetulan satu arah. Kubuka sedikit senyum supaya dianggap ramah. Dan ia menjawab dengan kata-kata yang bertuah. Aku berterima kasih dengan bahasa daerah. Dan Al-Hamdulillah. Setelah beberapa kali melewati dari berbagai arah, akhirnya teka-teki itu menyerah. Dan bibirKu pun merekah. Walau sudah tidak lagi merah. Sebelumnya, benak ini hendak menyerah dan pasrah. Tapi akhirnya semua itu telah punah. Dan aku seolah-olah menjadi orang yang berbunga-bunga dan bergairah. Semua itu terjadi setelah aku menghadap pada Allah.

Karena hari hampir gelap. Dan matahari sudah lelap. Maka pikiran yang kalap, bermaksud berziarah ke sebuah rumah yang beratap. Walau tidak membawa atribut lengkap, aku pergi dengan sangat cakap.

Kukirimi pesan orang yang bersangkutan, melalui pesan singkat yang sangat berkesan. Semua itu kulakukan hanya bermaksud untuk mengatakan bahwa aku akan datang. Itu bukan satu-satunya alasan. Sebab di samping itu, ada beberapa alasan yang tidak mungkin diceritakan. Tapi mungkin ketidak-tahuan terhadap tempat tinggal Aslan dapat Ku-utarakan. Agar tidak menimbulkan beberapa persoalan dan penasaran dalam pikiran.

“Jalan Paris dua, ujung sekali.” jawab Aslan dengan pesan singkat yang dikirimnya. Motor yang setia telah lama bersiaga. Dan sudah saatnya menempuh perjalanan yang berikutnya. Mungkin hanya ini jalan satu-satunya. Jadi meskipun macet dimana-mana, niat harus terlaksana. Apalagi Aslan sudah menungguKu di sana. Agar tidak terjadi apa-apa, tidak lupa baca Bismillah lalu kutancap gasnya.

Tidak sulit bagiKu untuk menemukan Aslan dan tempat tinggalnya. Seperti yang Ia katakan dalam pesan singgkatnya, bahwa di tepi jalan Ia berada. Betul juga. Bersakit-sakit dahulu lalu senang diakhirnya. Memang awalnya tidak mudah memberikan makalah pada seorang dosen yang mulia. Tapi, kemudahan Kudapat saat hendak ke tempatnya.

Aslan tersenyum melihatKu tiba di tempat tinggalnya. Dia berada dalam sebuah gerobak yang di dalamnya berisi barang yang hendak dijualnya. Yaitu menjual rokok dan pulsa. Sering dikatakan sebagai konter para pemula. Di dalam Ia tidak sendirian saja. Tempat yang sempit itu dipaksa memuat lebih dari dua raga yang sedang menonton sebuah acara. Film yang ditontonya berjudul ‘Kungfu Panda’.

Di luar gerobak juga terdapat pula seorang teman Aslan. Dan Aku dan temannya itu juga saling berteman. Kenal melalui Aslan. Dia menanyakan beberapa pertanyaan yang tidak Aku tahu terhadap apa jawaban yang akan Kukatakan. Meskipun demikian, itu tidak mengurangi keakraban yang telah lama kami lakukan.

Sebelum Jumeri pulang, ia menemaniKu dan Aslan. Kusarankan agar tidak pulang duluan. Dikarenakan adzan magrib sebentar lagi dikumandankan. Tapi ia mengatakan bahwa ia memiliki kediaman yang jauh dari jalan dan berdekatan dengan pertanian. Tentu tak ada kata yang dapat mencegahnya pulang duluan. Mengurus beberapa peralatan yang dipinjamkan pada Aslan dan teman Aslan. Kemudian Ia ucapkan salam sembari berlalu pulang.

Sebelum azdan magrib berkumandan, Aku berbincang-bincang. Ibarat seorang politikus yang sedang nyantai di tepi jalan. Perbincangan Aku dan Aslan bertopik pada teman kecil Aslan. Yang dari tadi memang berada lalu lalang. Sedikit-sedikit duduk di dekat Aslan; sedikit-dikit berada di tengah jalan seolah ada yang hendak datang. Itulah pemandangan di sela-sela perbincangan antaraKu dan temanKu Aslan.

Aku heran. Tanpa se-pengetahuan teman Aslan yang agak membingungkan, Aku bertanya tentangnya pada Aslan. Aslan menceritakan dengan blak-blakan. Bahkan menurut-Ku, ceritanya didengungkan dengan suara lantang. Hingga itu bukan lagi hal yang harus dirahasiakan.

Aslan bilang dengan optimis bahwa ia adalah anak autis. Aku termenung sejenak di atas tempat duduk dengan beralas betis. Sebebelumnya aku pernah mendengar tentang autis. Yaitu dari seorang wanita yang berperan sebagai dosen psikologis. Dan minggu kemarin juga aku melihatnya dalam serial romantis gratis, yang bertemakan tentang anak-anak autis.

Anak autis bagiKu adalah anak-anak yang cacat. Dengan berat aku menganggap bahwa aku salah anggap. Setelah aslan menceritakannya di tengah-tengah suasana hati yang pekat, aku dapat membedakan antara anak autis dan anak cacat. Dari cerita yang dicerikan oleh teman dekat, aku dapat menyimpulkan bahwa anak autis itu adalah anak yang berangan-angan banyak.

Perbincangan kami semakin seru saat temanKu yang memiliki marga Simbolan menceritakan sedikit cerita yang lucu. Menurutku lucu. Makanya ketawaKu sangat bergemuruh. Mungkin orang-orang yang lewat berprasangka, bahwa gila menimpaku. Tapi untung bagiKu. Sebab, tak seorang yang lewat sambil menggerutu. Tapi itu menurutku.

“Kemaren-kemaren Aku ngajar die ngaji Li, tapi die malah tebengong jak tros.” kata Aslan sambil menunjuk ke arah anak yang bersangkutan. “Itulah, biar die dengarkan yang Kuomongkan, Ku gine’kan.” sambung Aslan sambil menyentil kuping anak autis di sampingnya.

Tapi menurut Aslan, anak ini salah satu dari sekian banyak. Bahkan katanya ada juga yang harus memukul dengan emosi yang meledak-ledak. Dan yang ini kekurangannya hanya suka berkhayal banyak. dan tidak bisa berbicara seperti penjual minyak. dan anak ini juga memiliki kelebihan yang tidak begitu komplek dan banyak. Ia dapat langsung hafal nama orang yang baru Ia kenal.

Perbincangan kami berakhir. Kami menuju mushalla untuk mengambil air. Menyimpan tas dalam kamar yang sempit dan faqir. Lalu berwudu’ di tempat yang banyak disediakan air. Aku diberi kesempatan untuk adzan magrib dalam keadaan berharap akan mendapatkan di surga nanti beribu-ribu selir. Aslan jadi imam. Aku dan masyarakat sekitar bermakmum.

Tibalah saatnya Aku berpamitan meninggalkan surau. Hibatullah adalah julukan surau. Sebelum pulang, Aslan mengajakKu bergurau. Yaitu dengan menunjukkan bukti bahwa ceritanya sore tadi bukan gurau. Aslan mengajakKu ke WC surau. MemaksaKu yang sebelumnya tidak mau. Tapi, penasaran pun akhirnya berbentuk sebuah pulau. Yang mendorongku untuk melihat apa yang hendak ditunjukkan teman gurau.

Setelah melihat, aku tertawa dan merasa geli hati. Anak itu duduk dalam WC sambil melihat lubang kloset WC mini. Aku pun prihatin sendiri. Tapi aku percaya yang Aslan katakan itu bukan mimpi. Yaitu di dunia ini, terdapat seorang manusia, yang berbuat sesuatu yang membuat orang geli. Melihat lobang kloset WC yang berbentuk mini berjam-jam bukanlah hal yang biasa terjadi. Tapi itu bukan mimpi. Sekali lagi, itu benar-benar terjadi.

Aku ucapkan salam dan berterima kasih pada Aslan yang sedang mengunci pintu tempat suci. Dan berterima kasih pula pada Tuhan atas nikmat ini. sehat jasmani dan rohani. Dapat membedakan mana yang palsu dan asli. Kusadari. Betapa besar nikmat ini. mudah-mudahan dapat kugunakan dengan membawa kebahagiaan hati. Kelak di akhir hayat nanti. Amin.

1 komentar:

  1. begitulah kehidupan shob terkadang kita tidak tahu apa-apa yang terjadi di sekitar kita
    bukan karna mata kita buta namun akan pengalaman tentang kehidupan kita yang masih sedikit
    marilh kita ambil pelajaran dari pengalaman anda ini
    salam sukses

    BalasHapus