Kakek memiliki sahabat yang terkenal dengan panggilan Bangsi. Julukan itu diberikan oleh Kakek dan teman-temannya karena sahabatnya itu sangat menjaga gengsinya. Bangsi tersebut, sewaktu mudanya terkenal songong. Tapi walaupun demikian ia termasuk pemuda yang memiliki orang tua yang kaya raya. Jadi wajar jika ia songong. Untungnya, Bangsi ini meskipun songong, tidak pernah sombong dengan temannya sendiri.
Beliau ini, jangankan pakai sepatu pinjaman, pakai sandal jepit pun enggan. Katanya sih merusak imej keluarga besar. Dan pernah suatu ketika diajak makan di rumah makan tepi jalan oleh Kakek, tapi dia menolak ajakan Kakek tersebut dengan landasan bahwa ia tidak membawa uang tunai. Sedang di rumah makan tak mungkin bisa menggunakan kartu kredit. Semua itu dilakukan untuk menjaga gengsinya sebagai pemuda calon pewaris kekayaan orang tuanya. Makanya kawannya memberi julukan Bangsi, alias abang penjuang gengsi.
Namun, rasa gengsinya tersebut menjadi bumerang bagi Bangsi sendiri. Di suatu peristiwa dulu kala saat Kakek masih muda. Bangsi mengundang Kakek dan teman-teman kos-annya untuk menghadiri pesta perkawinannya. Dalam surat terlampir beberapa keterangan. Salah satu diantaranya yaitu undangan seharusnya menggunakan batik dengan dasi serta jas hitam. Jelas ini menjengkelkan. Pemuda itu paling risih kalau disuruh berdandanan rapi lebih baik nyemplung ke kali daripada rapi.
Kalau saja Bangsi tidak mengirimi pakaian pada Kakek dan teman-temannya, tentu mereka saat acara sedang berendam di kali. Kebetulan di depan rumah terdapat kali. Yang biasa digunakan untuk mencuci piring dan kaos kaki.
Pas akad nikah hendak dilakukan, terdapat berita menggemparkan tuan rumah. Yaitu penganten wanita kabur dari rumah.
“gawat ini, gawat...” kata ayah bangsi sambil mondar-mandir.
Tentu saja gawat. Orang tamu undangan telah hadir dengan pakaian yang telah ditentukan oleh tuan rumah. Diantara mereka ada yang pergi menyewa untuk sekedar menghadiri acara tersebut. Dan misalkan acara perkawinan itu gagal, bangsi bisa dapat warisan muka tebal.
Saat bingung itulah, Bangsi membuat keputusan agar tetap meneruskan presepsi pernikahan. Daripada malu, lebih baik melanjutkan. Para tamu undangan tidak mengetahui kejadian ini. Makanya mereka semua yang berada di aula sedang enak-enaknya menyantap makanan sambil ketawa-ketiwi.
Bangsi pergi ke dapur. Di samping waktu sudah mepet, wanita pujaan hatinya tak kunjung pulang. Ia menghampiri pembantu yang sedang mencuci piring. Dengan pandanga penuh pesona, Bangsi memegang tangannya lalu merayu pembantu itu dengan segsama. Bangsi mengajaknya menikah saat itu juga. Sontak wanita putri dari pembantu senior yang telah lama bekerja untuk orang tua bangsi itu terkejut mendengar hal yang mustahil itu. Bayangkan saja, pria yang sangat menjaga gengsi itu memilih wanita dari seorang pembantu. Mungkin ini karma.
Dan saat ini, Kakek Bangsi memilliki 7 (tujuh) orang anak dan dua orang cucu. Artinya, walaupun pembantu, tetap saja subur dan memberi kebahagiaan padanya. Dan anehnya, sikapnya masih seperti yang dulu. Tetap kuat menahan gengsi.
HHHH
Pengikut
Sabtu, 23 Juli 2011
Selasa, 19 Juli 2011
Rizqi Kakek
Kakek berangkat ke rumah makan siang itu. Istri menantunya bangung kesiangan. Mungkin tidurnya terlalu malam. Akibatnya lupa untuk memasak. Maka dari itulah Kakek rumah makan yang terletak agak jauh dari rumah sendirian tanpa ditemani siapapun. Kakek memang sangat lapar saat itu. Makanya dia enggan menunggu anaknya untuk menyiapkan makanan untuknya.
“Tunggu dulu pa. Mungkin satu jam lagi, Mar bisa nyiapkan makanan.” Ujar Mar sambil terburu-buru.
Untung kaki Kakek masih berfungsi dengan baik. Dengan koko dan kain sarungnya, Kakek pergi berangkat.
“Kakek keluar dulu Mar.” kata Kakek sembari berjalan keluar.
Rintik hujan tak mampu membendung rasa lapar yang sedang Kakek derita. Berbekal payung merah muda yang memiliki telinga kucing di kedua sisi payung. Maklum, kepunyaan Ria yang pernah Kakek berikan padanya sewaktu Ria berulang tahun saat umur 5 (lima) tahun. Terkadang di setiap langkah Kakek bertemu kubangan air. Yang mana hal itu mengakibatkan kain sarungnya basah. Belum lagi bertemu dengan anak-anak yang menginginkan payungnya itu. Kakek seolah penjual payung anak-anak.
Sampai di tujuan, Kakek pesan porsi seharga terjangkau. Tak banyak yang Kakek inginkan. Yang penting bisa mengenyangkan. Hendak mencari tempat duduk, Kakek bertemu seorang pemuda yang tak asing baginya. Ia adalah teman Ihsan yang sering bermain ke rumah Kakek. Dia sendirian tanpa seorang teman juga. Sebenarnya ia sudah selesai. Mungkin masih menunggu hujan reda. Tak ayal Kakek duduk bersamanya lalu berbincang-bincang dengannya.
Sungguh langit di luar sana hitam, sehingga menggelapkan siang dengan warnanya.
“Kakek sendirian?” tanya pemuda itu.
“Ia.” Jawab Kakek sembari memanggil pelayan.
Makanan sudah diantar dan siap untuk disantap. Sambil makan Kakek sambil bertanya.
“Kamu, mumpung masih muda harus rajin.” kata Kakek mengajari.
“jangan takut pada atasanmu. Tapi takut pada tuhanmu. Sebab, ia yang maha mengetahui segalanya. Yang tampak maupun tidak tampak.” lanjut Kakek.
Kakek terus-terusan menasehati pemuda tersebut. Bahkan, sesekali Kakek mengeluarkan ayat suci al-Qur`an untuk meyakinkan kebenaran apa yang telah Kakek sampaikan. Pemuda itu hanya diam saja. Mimik wajahnya tampak jenuh mendengar mutiara hikmah dari mulut pak tua itu. Akibabtnya, suasana rumah makan menjadi musholla. Rasanya pemuda itu berkeinginan hendak menculik Kakek itu diam-diam. Lalu ia ikat tangannya dengan kencang. Kemudian dibawa ke gedung bertingkat tinggi dan dilemparkan ke bawah.
Kakek tak menggubris mimik wajah rasa tak puas pemuda itu. Terserah dia, mau atau tidak mau yang jelas Amar Ma`ruf nahi mungkar. Untungnya beberapa saat kemudian hujan reda dan langit cerah kembali. Dengan terburu-buru pemuda itu berpamitan dan keluar dari rumah makan itu. Seperti sedang bertemu hantu saja. Tapi kalau ketemu hantu seperti ini kan enak, punya jenggot. Tinggal tarik saja jenggotnya, pasti mulutnya menganga.
Kakek kenyang dan pulang. Pesanan air putih gratisnya telah habis dimasukkan ke dalam perutnya. Keluar Kakek berhadapan dengan penjaga kasir bermaksud untuk membayar. Tapi kasir tidak melayani Kakek. Sebab, apa yang telah Kakek makan sudah dibayarkan oleh pemuda yang ketakutan tadi. Kakek kegirangan.
“Ya udah kalo gitu. Makasih.” kata Kakek pamitan.
Tiba di teras rumah makan Kakek dikagetkan dengan suatu peristiwa. Yaitu payung kesayangan cucunya itu tidak berada di tempat semula. Walaupun punya anak-anak, Ria nanti bisa marah pada Kakek tentunya. Kakek mencari dengan perasaan bingung. Di saat Kakek bingung, Kakek mendengar suara panggilan. Bukan dari tuhan tapi dari penjaga kasir barusan.
“Kek, ada surat dari orang yang orang tadi untuk Kakek.” katanya.
Kakek menghampiri dan mengambil secarik kertas yang diberikan oleh penjaga kasir itu. Lantas kakek membacanya.
“Kek, makanan sudah kubayarkan. Sebagai gantinya, payung Kakek kubawa. Itung-itung sebagai balasan jasa. Sebab, anakku suka dengan payung Kakek itu.” bunyi surat yang ada digenggaman Kakek.
“Waduh-waduh, pemuda tak benar. Awas saja nanti ketemu di rumah.” ujar Kakek dalam hati dengan dahu mengerut.
Senin, 18 Juli 2011
Sholat Arisan
Tempat itu kecil hingga, Kakek Jahil dan Ihsan tidak bisa ikut sholat berjama`ah. Biasanya di Masjid, tapi kali ini di sebuah rumah yang jauh dari kediamannya. Mereka berdua datang jauh-jauh demi untuk sebuah acara.
Dalam acara itu, setiap orang akan mendapat giliran; bisa jadi minggu depan di tempat Ihsan dan bisa jadi juga di tempat yang lain. Tergantung hasil kocokan yang disaksikan orang ramai. Mereka yang ikutan sangat mengharapkan itu. Sebab, barang siapa yang mendapat giliran, ia akan mendapat uang tunai sebesar 1(satu) juta rupiah dari uang yang dikumpulkan. Tapi setelah itu ia tidak akan menemukan namanya lagi keluar dari kocokan.
Mereka yang telah selesai sholat duduk kembali di ruang tamu. Kakek belum mengerjakan sholat tapi ia asyik berbincang-bincang. Sudah seperti perempuan saja. Asyik bicara lupa segalanya. Padahal sudah tua. Maklum, Kakek orangnya sangat vokal. Mampu menguasai panggung kecuali panggung sandiwara.
“Ayo Kek, sholat...” ujar Ihsan dari tempat sholat.
Kakek ingat kalaulah dirinya belum sholat. Sembari berpamitan ia lalu menghampiri Ihsan yang berada di temtat sholat.
“Nanti kalo` yang keluar namaku, bilang ya...” pinta Kakek yang berada di belakang imam.
Bukankah seharusnya ia lafadznya niat untuk sholat? Tapi kenapa itu yang dibicarakan Kakek Jahil. Ihsan menoleh sebagai bentuk peringatan. Tapi Kakek tidak mengerti. Kakek mengatakan bahwa Ihsan tak layak jadi imam. Sebenarnya ini hal yang tidak biasa. Mungkin bawaan sifat terburu-burunya barang kali.
Imam takbir tentu makmum ikut takbir. Ihsan tenang dalam sholatnya sembari mendengarkan ayat suci al-qur`an yang dikumandangkan Kakek. Walau suaranya suara ‘ngebor’, Ihsan tetap khusu`. Lalu saat hendak membaca surat pendek, Kakek mendengar namanya dipanggil di keramaian tadi. Ternyata hasil kocokan, nama Kakek yang keluar. Sontak kemudian Kakek sujud sukur atas hal yang telah menimpanya. Tanpa batal sholat magribnya, Kakek sujud tanpa melawati rukuk.
Kejadian itu tentu membuat Ihsan linglung dan bingung. Sempat ia terdiam melihat tingkah sang imam yang sedang sujud syukur. Ia pun membatalkan sholatnya dan membangunkan Kakek dari sujud.
Ihsan mengajari malah Ihsan yang dibodoh-bodohi. Kakek bilang Ihsan kurang banyak belajar ilmu agama. Tentu Ihsan tambah dongkol. Dan untungnya Ihsan tidak meneteskan air mata sebagai simbol kedongkolannya. Ihsan meninggalkan Kakek untuk sholat. Sedang Kakek kembali melanjutkan sujud sukurnya.
Rabu, 06 Juli 2011
Pembalab Liar
Saat itu, seorang cowok dengan kuda besinya yang bermerk Supra Fit berjalan begitu kencangnya di jalan raya, sehingga membuat warga yang berada di tepi jalan saat itu terkejut. Seolah memiliki misi membututi musuh. Mimik wajahnya yang jelas menampakkan seorang yang sedang berusaha mengejar orang yang berada di depan. Cowok itu berhenti dari kendaraannya dengan raut wajah yang sangat puas.
Salah satu dari seorang yang juga terkejut dan terkesima dengan aksinya itu mendatangi cowok itu.
“Hebat. Saya kagum pada anda. Tapi ma`af ni, ngomong-ngomong SIM nya ada?” tanya orang itu.
“Waduh, ma`af juga ni pak, saya lupa membawanya.” jawab si cowok itu tersipu-sipu malu setelah menoleh pada orang yang bertanya dan memujinya itu.
“STNKnya?” tambah orang asing yang kagum pada cowok itu.
“Hehehehe, nda` ada juga pak.” seru cowok tersebut sambil cengengesan.
Cowok itu tak habis pikir. Dalam hatinya, mimpi apa dia semalam? Bisa ketemu polisi di jalan ini. Padahal, cowok tersebut saat itu sedang menutup auratnya dengan sarung. Tapi ia tak bisa mengelak lagi. Setelah dengan gagahnya ia melepas helm dari kepalanya, seketika itu pula ia keder setelah menoleh pada orang yang bertanya yang tak lain adalah Polantas. Malang sekali nasibnya.
Hal itu mengundang perhatian sebagaian pengguna jalan. Tukang kerupuk yang menjadi musuhnya saat mengadu adrenalin dengannya berkomentar. Sambil mengayuh sepeda bututnya ia berteriak, “Hebat oy...” katanya. Tentu si cowok itu merasa malu dan terus berjalan dengan kedua kakinya.
Salah satu dari seorang yang juga terkejut dan terkesima dengan aksinya itu mendatangi cowok itu.
“Hebat. Saya kagum pada anda. Tapi ma`af ni, ngomong-ngomong SIM nya ada?” tanya orang itu.
“Waduh, ma`af juga ni pak, saya lupa membawanya.” jawab si cowok itu tersipu-sipu malu setelah menoleh pada orang yang bertanya dan memujinya itu.
“STNKnya?” tambah orang asing yang kagum pada cowok itu.
“Hehehehe, nda` ada juga pak.” seru cowok tersebut sambil cengengesan.
Cowok itu tak habis pikir. Dalam hatinya, mimpi apa dia semalam? Bisa ketemu polisi di jalan ini. Padahal, cowok tersebut saat itu sedang menutup auratnya dengan sarung. Tapi ia tak bisa mengelak lagi. Setelah dengan gagahnya ia melepas helm dari kepalanya, seketika itu pula ia keder setelah menoleh pada orang yang bertanya yang tak lain adalah Polantas. Malang sekali nasibnya.
Hal itu mengundang perhatian sebagaian pengguna jalan. Tukang kerupuk yang menjadi musuhnya saat mengadu adrenalin dengannya berkomentar. Sambil mengayuh sepeda bututnya ia berteriak, “Hebat oy...” katanya. Tentu si cowok itu merasa malu dan terus berjalan dengan kedua kakinya.
Selasa, 05 Juli 2011
Kalau bukan sekarang, kapan lagi...
Pagi itu Kakek Jahil, berada di serambi rumahnya. Ia duduk sembari membaca koran pagi. Ketika serius membaca, tiba-tiba ia dikejutkan cucu perempuannya yang telah dewasa. Cucunya tersebut berlari. Pantas jika kakek Jahil terkejut. Bukan itu saja, pakaian ketat cucu juga menjadi salah satu faktor terkejutnya kakek.
“Apa-apaan kamu cu, pake` baju begitu.” kata kakek lantang sembari meletakkan koran.
“Apa sih kek. Ngebetein aja.” jawab cucunya merasa terganggu.
“Kamu mau kemana cu? berpakaian kaya` gitu. Kan, isi dalamanmu ketauan orang!!” kata kakek menimpali.
“Kakek ni gimana sih, cucu ni masih muda. Lagian, gaya kaya` ni kan, trend masa kini. Jadul amat sih kakek nich.” jawab cucu menjelaskan.
“bukan gitu cu, auratmu mengundang maksiat.” Ujar kakek.
“Udahlah kek, cucu pergi dulu. Mo` joging. Masa` joging pake` mikenah. Ada-ada ja ni kakek.” tukas sang cucu membela diri.
“Kalau bukan sekarang, kapan lagi coba?”.
Pernyataan cucu yang terakhir tadi membuat kakek tercengan. Sekaligus mengakhiri percekcokan pagi hari antara cucu melawan kakek. Kakek yang prihatin dengan keadaan sang cucu, si cucu malah abis-abisan mengecam kakek. Kakek Jahil hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
Kakek terus berusaha melakukan yang terbaik untuk keluarga. Ia pun mendatangi ibu dari cucunya yang kebetulan anaknya si kakek. Saat itu anaknya sedang berada di dapur sedang memasak. Kakek menghampirinya sambil menggerutu.
“Masih muda sudah seperti itu. Gimana nanti kalo sudah tua nanti.” Kata kakek menggerutu.
“Bapak kenapa, ngomong sendiri?” tanya anak perempuannya sopan.
“Itu tuh, anakmu. Dibilangin malah ngebantah.” Jawab kakek kesal.
“Kamu itu, didik anak tu yang benar. Jangan seperti itu. Malah sibuk sendiri dengan pekerjaannya masing-masing.” kakek meluapkan kemarahannya pada si anak.
“Si ria? Kenapa dengan si ria kek?” jawab anaknya denga lembut.
Si kakek menjelaskan letak permasalahan yang terjadi barusan. Semua kejadian detail, kakek ceritakan. Sudah seperti penyiar berita saja. Sang anak mendengar dengan seksama sambil bekerja. Perlu waktu lama untuk menjelaskannya. Sehingga sang kakek pun kehausan dan mengambil minuman.
Setelah cerita selesai, sang anak berkomentar, “udah lah. Dia kan masih muda. Kalau bukan sekarang kapan lagi dia seperti itu.” jawabnya tanpa merasa bersalah sedikitpun.
Jawaban yang percis serupa dengan jawaban cucunya. Seperti semula, kakek hanya terdiam dan keluar perlahan-lahan. Kakek pergi ke ruang tamu untuk menonton Tv.
Beberapa jam kemudian, cucunya pulang dalam keadaan menangis. Pakaiannya kotor. Bahkan ada yang koyak di sebagiannya. Cucunya itu datang tidak sendirian. Ia ditemani oleh Satpam komplek. Dia langsung duduk di dekat sang Kakek. Tapi kakek mencuekinya dengan berpura-pura serius menonton Tv.
Ibunya yang berada di dapur sontak keluar mendengar jerit tangis sang anak. Dan ia menanyakan tentang apa yang terjadi pada anaknya. Anaknya tidak bisa menceritakan hal itu. Sebab, tangisannya sangat histeris sekali.
“Ini begini bu, tadi waktu di dekat kebun sana. Saya melihat adek ini sedang di kerumuni oleh dua orang pria yang gagah-gagah.” cerita Satpam yang mirip Muhlis serial Abdel dan Temon dengan serunya.
“Entah apa yang hendak mereka lakukan. Saat kuhampiri mereka lari terbirit-birit.” lanjutnya lebay.
Walau agak lebay, ceritaa Satpam membuat sang ibu ikut menangis seraya memeluk anaknya itu. Namun, si kakek tetap santai seolah tidak ada terjadi apa-apa. Ibu melihat tindakan kakek yang kurang perhatian pada cucunya itu. Ibu dari sang anak itu menegor kakeknya dengan perkataan yang sungguh mengharukan. Tapi kakek hanya mengucapkan, “kalau tidak sekarang, kapan lagi.” Kata kakek santai sembari meninggalkan ruangan.
Batal Wudu`
Dari kejauhan tampak dua orang sedang membersihkan badan mereka di sebuah kolam genangan air mancur. Air yang jernih mengalir melewati kolam itu. Sehingga, air itu terus berganti dengan yang baru, baru dan baru. Pantas jika kedua orang itu berada di situ di tengah-tengah hari untuk mandi.
Dekat kolam tersebut terdapat tempat yang digunakan untuk sholat. Biasanya, setelah mandi mereka berhenti sejenak untuk sholat. Sama halnya seperti yang dilakukan kakek Jahil tiap harinya.
Ketika itu, kakek Jahil sedang bergegas menuju ke musholla dengan keadaan saat ia mandi. Pakaiannya berada di teras musholla. Oleh karena si kakek ini tanpa busana, sambil berjalan pelan-pelan, ia menutupi kemaluannya dengan kedua tangannya. Pakaianpun diguanakan kembali untuk melakukan sholat. Peci, sarung, dan kemejanya sudah menutup auratnya, sehingga tampak kinclong kembali.
Pemuda cilik yang kira-kira berumur 12 Tahunan yang juga mandi bersama si kakek barusan juga naik tanda selesai mandi. Namun, agak berbeda dengan si kakek, ia pergi ke musholla dengan tergesa-gesa menghampiri si kakek.
“Ma`af kek, kakek sudah ngambil wudu`?” tanya anak kecil itu dengan sopan.
“Cu, cu... kamu kan liat sendiri tadi kakek wudu` di depanmu.” ujar kakek yang hendak takbir.
“Tapi kek, bukan kah kakek tadi memegang kemaluan kakek dengan telapak tangan kakek sendiri?” tanya pemuda itu meyakinkan.
“iya. Memang kenapa cu..,?” tanya kakek balik.
“Begini kek, kata guru ngaji saya, kalo memegang kemaluan dengan telapak tangan tanpa penghalang, wudu`nya batal.” jelas anak itu.
Kakek tidak percaya dengan kata-kata anak yang baru kenal itu. Lantas ia-pun mengatakan bahwa anak tersebut sok tau. Tapi anak itu juga teguh pendidiriannya. Si kakek juga tidak mau kalah.
“Kamu ini, kencing aja belum lurus, udah sok ngajarin kakek.” Kata si Jahil itu.
“eh cu, kemaluan itu, dibawa sholat aja tidak apa-apa, apalagi cuman dipegang...” ujar kakek mengakhiri perdebatan.
Senin, 04 Juli 2011
Kakek Nangis
Cucu kakek yang bernama Ria melihat Kakek menangis bercucuran air mata. Cucu bingung. Dalam hatinya bertanya-tanya, serial apa gerangan yang mampu membuat Kakek gokil menangis tersedu-sedu. Ria pun menghampirinya. Visinya satu. Yaitu melihat acara TV yang sedang Kakek tonton.
Setelah mendekat dan mengetahui acara yang telah Kakek tonton, tertawa dalam hati. Geli atau merasa aneh membuatnya tertawa heran. “Masa` nonton berita aja, Kakek menangis sejadi-jadinya. Orangtua yang aneh.” ucapnya dalam hati.
Dia pun duduk di samping Kakek. Ria mencoba untuk menenangkan perasaan Kakek tercintanya yang aneh dan luar biasa anehnya. Ria memeluk Kakeknya. Lontaran mutiara kata dilontarnya; mencoba mengusir rintihan tangisan sang Kakek. Tapi, tangisannya malah menjadi. Kakek menoleh ke arah cucunya yang berada di dekatnya. Dengan tatapan mata yang tajam, Kakek mengusir tangan cucunya yang berada di atas pundak sebelah kanan si Kakek.
“Kakek... Ada apa kek? Kenapa menangis seperti itu?” tanya cucunya perhatian.
“Cucu kurang ajar. Sana kamu, jangan dekat-dekat Kakek!!” jawab Kakek marah.
Tentu si cucu bingung. Diperhatiin benar-benar, Kakeknya malah memarahinya habis-habisan. Sebelum pergi dari sanding Kakek, Ria bertanya agar hilang kepenasarannya.
“Kakek kenapa sih, orang Ria mau hibur Kakek. Kakek ngomong kaya` gitu.” bantah Ria ikut emosi.
Teriakan Ria mengundang perhatian kedua orangtuanya yang berada di kamar. Mereka menghampiri asal suara keributan dengan cepat.
“Ada apa ini? Ko` ribut-ribut.” tanya ibunya heran.
“Iya. Ada apa ini Ria” tambah Ihsan pada anaknya yang dalam keadaan wajah kusut.
Mungkin karena kesal, si Ria tidak menjawab. Tapi Kakek tidak seperti itu; Kakek menjawab tertanyaan mereka berdua.
“Anakmu ni kurang ajar betul. Kakek lagi sedih mendengar berita KH. Zainuddin MZ meninggal dunia, cucumu malah datang nginjak Kaki Kakek.” jawab Kakek dengan suara lantang.
“Liat ni!! Punya cucu kaya gini.” tambahnya kesal.
Ria yang tadinya kesal juga, baru sadar, bahwa kaki kanannya berada di atas Kakeknya. Wajahnya yang murung berubah tersenyum melihat fakta dari kenyataan barusan. Ia pun minta ma`af. Orang tuanya tersenyum, melihat kejadian yang diperankan oleh cucu dan kakeknya.
“Mereka kalo ketemu, pasti seperti itu.” kata Ihsan pada sang Istri siang itu di ruang tamu.
Untung Sudah Tua
![]() |
Pak Jahil dan Bu Jahil |
Hari Jum`at malam Sabtu, sekitar jam 10 malam, suami dari anak kakek yang bernama Ida rutin bermain Futsal bersama rombongan pengajian. Ihsan, menantunya itu duduk di teras rumah sebentar untuk memasang sepatu. Motor di bagasi sudah ia siapkan di depannya.
Saat hendak menaiki motor, Kakek Jahil tak sengaja melihat melihatnya. Lantas kakek pun bertanya perihal kepergiannya. Ihsan yang saat itu sudah siap pergi, berhenti sejenak untuk menjawab pertanyaan si mertuanya itu.
“Main Fulsal Kek.” jawabnya tegas.
Mendengar jawabannya itu, si Kakek malah bercerita panjang lebar tentang masa mudanya yang dulu juga memiliki hobi yang sama. Mau tidak mau, sang menantu mendengarkannya dengan perasaan dongkol. Namun, karena kelamaan, tanpa mengurangi rasa hormatnya pada mertua, ia memotong cerita si Kakek.
“Udah dulu ya Kek, Ihsan udah terlambat nih.” ujarnya memotong cerita.
“Tunggu San, Kakek ikut. Sudah lama Kakek tidak main bola.” pinta Kakek.
Tentu hal ini membuat sang menantu merasa risih. Dalam hati kecilnya menolak. Bahkan menggerutu tanpa sepengetahuan Kakek. Untung Ihsan adalah menantu yang berprilaku baik pada mertua. Jangankan yang masuk akal, permintaan yang kurang dipercaya akalpun, sang mantu rela berkorban.
“Ayolah Kek. Tapi cepat ya.” saran sang mantu.
Kakek bergegas, hingga tidak membutuhkan waktu lama untuk menggunakan kostum olah raga kesayangannya saat muda. Beberapa menit kemudian Kakek keluar dengan dandanan bak atlit Sea Games.
Mereka pun berangkat. Sesampainya di tempat, teman-teman Ihsan sudah berada di lapangan. Ihsan yang mengetahui itu, segera masuk dan berdiri di tepi lapangan menunggu giliran. Si Kakek heran. Maklum, lapangan mini ini belum pernah ia jumpai saat ia remaja. Kemungkinan ia baru tahu. Dulu yang ia tahu, lapangan yang ada dalam ruangan adalah lapangan Bulu Tangkis. Tapi yang kali ia lihat berbeda. Tentu ini peristiwa yang sangat mengherankan.
Walau bersama mertua, Ihsan tidak merasa terganggu bahkan malu. Malah ia bangga dengan adanya mertua di sisinya yang ikut bersamanya.
“Pemain darimana itu San. Sepertinya aku kenal deh.” Tanya temannya yang juga telah menunggu giriran bermain.
Memang, Kakek Jahil ini sudah terkenal di seluruh penjuru. Penjuru Komplek, Desa, dan kebun. Biasa, Kakek lain daripada yang lain.
“Mertuamu mana mungkin seperti mertuaku. Yang mau menemani menantunya bermain Futsal.” jawab Ihsan membela.
Tak berselang lama, giliran Ihsan dan Kakek tiba. Mereka satu tim. Walau kostum berbeda, mereka berdua memiliki misi yang sama. Yaitu menang dan mencetak gol. Kakek menjadi penyerang murni. Selalu berada di dekat gawang musuh. Sedang menantunya menjadi gelandang tengah yang mampu memberi umpan pada Kakek.
Bola berada pada gengaman sang Kakek. Ia membawanya dengan sangat lambannya. Saat itu, keadaan satu lawan satu; antara Kakek dan Penjaga Gawang musuh. Kiper musuh meremehkan Kakek. Seolah sang Kakek tiada di hadapannya. Dan Kakek tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan sekuat tenaga, ia menendang bola ke arah gawang.
“ciaaaaat…” bunyi yang keluar dari mulut Kakek.
Kiper mengeluarkan mimik muka remeh. Dan Al hasil bola tadi masuk ke gawang dan gol. Akan tetapi para penonton dan para pemain tertawa terpingkal-pingkal melihat gol yang tercipta. Pasalnya, sang Kiper terjatuh dan kesakitan akibat hantaman sepatu Kakek yang terlepas lalu melayang dan mendarat ke wajahnya.
“Waduh, saya kira, yang melesat kencang tadi bola. Eh tau-tau sepatunya.” ujar sang Kiper.
“Untung sudah Tua.” kata Kakek dalam hati girang.
Ternyata sepatu yang dulu digunakan Kakek saat muda sudah agak kendor. Jadi mudah terlepas. Jika saja sepatu tadi tidak kendor, mungkin yang hasilnya akan berbeda.
Untung Sudah Tua
![]() |
Pak Jahil dan Bu Jahil |
Hari Jum`at malam Sabtu, sekitar jam 10 malam, suami dari anak kakek yang bernama Ida rutin bermain Futsal bersama rombongan pengajian. Ihsan, menantunya itu duduk di teras rumah sebentar untuk memasang sepatu. Motor di bagasi sudah ia siapkan di depannya.
Saat hendak menaiki motor, Kakek Jahil tak sengaja melihat melihatnya. Lantas kakek pun bertanya perihal kepergiannya. Ihsan yang saat itu sudah siap pergi, berhenti sejenak untuk menjawab pertanyaan si mertuanya itu.
“Main Fulsal Kek.” jawabnya tegas.
Mendengar jawabannya itu, si Kakek malah bercerita panjang lebar tentang masa mudanya yang dulu juga memiliki hobi yang sama. Mau tidak mau, sang menantu mendengarkannya dengan perasaan dongkol. Namun, karena kelamaan, tanpa mengurangi rasa hormatnya pada mertua, ia memotong cerita si Kakek.
“Udah dulu ya Kek, Ihsan udah terlambat nih.” ujarnya memotong cerita.
“Tunggu San, Kakek ikut. Sudah lama Kakek tidak main bola.” pinta Kakek.
Tentu hal ini membuat sang menantu merasa risih. Dalam hati kecilnya menolak. Bahkan menggerutu tanpa sepengetahuan Kakek. Untung Ihsan adalah menantu yang berprilaku baik pada mertua. Jangankan yang masuk akal, permintaan yang kurang dipercaya akalpun, sang mantu rela berkorban.
“Ayolah Kek. Tapi cepat ya.” saran sang mantu.
Kakek bergegas, hingga tidak membutuhkan waktu lama untuk menggunakan kostum olah raga kesayangannya saat muda. Beberapa menit kemudian Kakek keluar dengan dandanan bak atlit Sea Games.
Mereka pun berangkat. Sesampainya di tempat, teman-teman Ihsan sudah berada di lapangan. Ihsan yang mengetahui itu, segera masuk dan berdiri di tepi lapangan menunggu giliran. Si Kakek heran. Maklum, lapangan mini ini belum pernah ia jumpai saat ia remaja. Kemungkinan ia baru tahu. Dulu yang ia tahu, lapangan yang ada dalam ruangan adalah lapangan Bulu Tangkis. Tapi yang kali ia lihat berbeda. Tentu ini peristiwa yang sangat mengherankan.
Walau bersama mertua, Ihsan tidak merasa terganggu bahkan malu. Malah ia bangga dengan adanya mertua di sisinya yang ikut bersamanya.
“Pemain darimana itu San. Sepertinya aku kenal deh.” Tanya temannya yang juga telah menunggu giriran bermain.
Memang, Kakek Jahil ini sudah terkenal di seluruh penjuru. Penjuru Komplek, Desa, dan kebun. Biasa, Kakek lain daripada yang lain.
“Mertuamu mana mungkin seperti mertuaku. Yang mau menemani menantunya bermain Futsal.” jawab Ihsan membela.
Tak berselang lama, giliran Ihsan dan Kakek tiba. Mereka satu tim. Walau kostum berbeda, mereka berdua memiliki misi yang sama. Yaitu menang dan mencetak gol. Kakek menjadi penyerang murni. Selalu berada di dekat gawang musuh. Sedang menantunya menjadi gelandang tengah yang mampu memberi umpan pada Kakek.
Bola berada pada gengaman sang Kakek. Ia membawanya dengan sangat lambannya. Saat itu, keadaan satu lawan satu; antara Kakek dan Penjaga Gawang musuh. Kiper musuh meremehkan Kakek. Seolah sang Kakek tiada di hadapannya. Dan Kakek tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan sekuat tenaga, ia menendang bola ke arah gawang.
“ciaaaaat…” bunyi yang keluar dari mulut Kakek.
Kiper mengeluarkan mimik muka remeh. Dan Al hasil bola tadi masuk ke gawang dan gol. Akan tetapi para penonton dan para pemain tertawa terpingkal-pingkal melihat gol yang tercipta. Pasalnya, sang Kiper terjatuh dan kesakitan akibat hantaman sepatu Kakek yang terlepas lalu melayang dan mendarat ke wajahnya.
“Waduh, saya kira, yang melesat kencang tadi bola. Eh tau-tau sepatunya.” ujar sang Kiper.
“Untung sudah Tua.” kata Kakek dalam hati girang.
Ternyata sepatu yang dulu digunakan Kakek saat muda sudah agak kendor. Jadi mudah terlepas. Jika saja sepatu tadi tidak kendor, mungkin yang hasilnya akan berbeda.
Langganan:
Postingan (Atom)