HHHH
Pengikut
Selasa, 19 Juli 2011
Rizqi Kakek
Kakek berangkat ke rumah makan siang itu. Istri menantunya bangung kesiangan. Mungkin tidurnya terlalu malam. Akibatnya lupa untuk memasak. Maka dari itulah Kakek rumah makan yang terletak agak jauh dari rumah sendirian tanpa ditemani siapapun. Kakek memang sangat lapar saat itu. Makanya dia enggan menunggu anaknya untuk menyiapkan makanan untuknya.
“Tunggu dulu pa. Mungkin satu jam lagi, Mar bisa nyiapkan makanan.” Ujar Mar sambil terburu-buru.
Untung kaki Kakek masih berfungsi dengan baik. Dengan koko dan kain sarungnya, Kakek pergi berangkat.
“Kakek keluar dulu Mar.” kata Kakek sembari berjalan keluar.
Rintik hujan tak mampu membendung rasa lapar yang sedang Kakek derita. Berbekal payung merah muda yang memiliki telinga kucing di kedua sisi payung. Maklum, kepunyaan Ria yang pernah Kakek berikan padanya sewaktu Ria berulang tahun saat umur 5 (lima) tahun. Terkadang di setiap langkah Kakek bertemu kubangan air. Yang mana hal itu mengakibatkan kain sarungnya basah. Belum lagi bertemu dengan anak-anak yang menginginkan payungnya itu. Kakek seolah penjual payung anak-anak.
Sampai di tujuan, Kakek pesan porsi seharga terjangkau. Tak banyak yang Kakek inginkan. Yang penting bisa mengenyangkan. Hendak mencari tempat duduk, Kakek bertemu seorang pemuda yang tak asing baginya. Ia adalah teman Ihsan yang sering bermain ke rumah Kakek. Dia sendirian tanpa seorang teman juga. Sebenarnya ia sudah selesai. Mungkin masih menunggu hujan reda. Tak ayal Kakek duduk bersamanya lalu berbincang-bincang dengannya.
Sungguh langit di luar sana hitam, sehingga menggelapkan siang dengan warnanya.
“Kakek sendirian?” tanya pemuda itu.
“Ia.” Jawab Kakek sembari memanggil pelayan.
Makanan sudah diantar dan siap untuk disantap. Sambil makan Kakek sambil bertanya.
“Kamu, mumpung masih muda harus rajin.” kata Kakek mengajari.
“jangan takut pada atasanmu. Tapi takut pada tuhanmu. Sebab, ia yang maha mengetahui segalanya. Yang tampak maupun tidak tampak.” lanjut Kakek.
Kakek terus-terusan menasehati pemuda tersebut. Bahkan, sesekali Kakek mengeluarkan ayat suci al-Qur`an untuk meyakinkan kebenaran apa yang telah Kakek sampaikan. Pemuda itu hanya diam saja. Mimik wajahnya tampak jenuh mendengar mutiara hikmah dari mulut pak tua itu. Akibabtnya, suasana rumah makan menjadi musholla. Rasanya pemuda itu berkeinginan hendak menculik Kakek itu diam-diam. Lalu ia ikat tangannya dengan kencang. Kemudian dibawa ke gedung bertingkat tinggi dan dilemparkan ke bawah.
Kakek tak menggubris mimik wajah rasa tak puas pemuda itu. Terserah dia, mau atau tidak mau yang jelas Amar Ma`ruf nahi mungkar. Untungnya beberapa saat kemudian hujan reda dan langit cerah kembali. Dengan terburu-buru pemuda itu berpamitan dan keluar dari rumah makan itu. Seperti sedang bertemu hantu saja. Tapi kalau ketemu hantu seperti ini kan enak, punya jenggot. Tinggal tarik saja jenggotnya, pasti mulutnya menganga.
Kakek kenyang dan pulang. Pesanan air putih gratisnya telah habis dimasukkan ke dalam perutnya. Keluar Kakek berhadapan dengan penjaga kasir bermaksud untuk membayar. Tapi kasir tidak melayani Kakek. Sebab, apa yang telah Kakek makan sudah dibayarkan oleh pemuda yang ketakutan tadi. Kakek kegirangan.
“Ya udah kalo gitu. Makasih.” kata Kakek pamitan.
Tiba di teras rumah makan Kakek dikagetkan dengan suatu peristiwa. Yaitu payung kesayangan cucunya itu tidak berada di tempat semula. Walaupun punya anak-anak, Ria nanti bisa marah pada Kakek tentunya. Kakek mencari dengan perasaan bingung. Di saat Kakek bingung, Kakek mendengar suara panggilan. Bukan dari tuhan tapi dari penjaga kasir barusan.
“Kek, ada surat dari orang yang orang tadi untuk Kakek.” katanya.
Kakek menghampiri dan mengambil secarik kertas yang diberikan oleh penjaga kasir itu. Lantas kakek membacanya.
“Kek, makanan sudah kubayarkan. Sebagai gantinya, payung Kakek kubawa. Itung-itung sebagai balasan jasa. Sebab, anakku suka dengan payung Kakek itu.” bunyi surat yang ada digenggaman Kakek.
“Waduh-waduh, pemuda tak benar. Awas saja nanti ketemu di rumah.” ujar Kakek dalam hati dengan dahu mengerut.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar